A Barbaric Proposal Chapter 1
- Crystal Zee
- May 16
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Lamaran Berdarah (1)~
Surat di tangan Liene remuk. Surat yang kedua.
[Liene] "......"
Liene menatap tangannya yang memutih, kaku dan dingin, seolah bukan miliknya lagi.
Isi surat itu singkat.
-Aku sudah menunggu selama setengah bulan, mohon berikan jawaban.
Tidak banyak berbeda dari surat pertama.
-Kepada Tuan Putri di Kastil Nauk. Panglima Prajurit Bayaran Tiwakan ingin meminang dirimu. Aku akan menunggu jawaban.
Dan dengan dalih melamar, Pasukan Bayaran Tiwakan telah mengepung kastil selama setengah bulan.
[Mashilow] "Yang Mulia."
M ashilow, Penasihat Dewan Aristokrat, memanggil Lienne. Raut wajah dan suaranya penuh kegelisahan.
[Mashilow] "Anda tidak berniat menerimanya, bukan? Mereka adalah orang-orang barbar yang tidak mengenal tata krama manusia sedikit pun. Mereka sama saja dengan suku biadab. Beraninya mereka melamar! Padahal mereka tahu bahwa Yang Mulia memiliki tunangan yang jauh lebih baik daripada siapa pun! Itulah bukti bahwa mereka biadab!"
[Liene] "Jika tidak kuterima, apakah ada cara lain?" Liene berusaha menenangkan suaranya sambil meratakan surat yang kusut dengan ujung jarinya. "Kita tidak punya kekuatan untuk mengusir mereka. Kau tahu itu."
Di aula megah yang dulunya kaya dan mewah, yang tersisa hanyalah Liene, Mashilow, dan Komandan Pasukan Penjaga, Weroz. Dibandingkan dengan kejayaan Kerajaan Nauk di masa lalu, jumlah mereka saat ini sangat menyedihkan.
[Weroz] "Kami masih bisa bertarung. Demi Yang Mulia, nyawaku siap kuserahkan kapan pun." Seorang ksatria yang jujur, yang telah melewati usia empat puluh tahun, membuka mulutnya dengan berat hati.
Liene tahu, Weroz adalah orang serius dengan ucapannya. Karena itulah dia semakin yakin bahwa lamaran ini harus diterima. Dia tidak bisa membiarkan semua ksatria yang berpikiran sama dengan Weroz mati sia-sia.
[Liene] "Dan kita semua akan mati bersama."
[Weroz] "Y-yang Mulia...!" Weroz menggelengkan rambutnya yang abu-abu dan basah oleh keringat. Namun, dia tidak bisa mengucapkan kata-kata untuk menyangkal.
Setengah bulan. Hanya dalam setengah bulan, Kastil Nauk sepenuhnya terisolasi. Jalur pasokan dari luar benteng sudah terputus sejak lama. Rakyat lelah, dan pasukan telah kehilangan semangat untuk bertarung.
Sejak awal, pertempuran ini memang tidak seimbang. Perbedaan jumlah pasukan melebihi sepuluh kali lipat. Di sisi lain, Pasukan Bayaran Tiwakan, yang disebut sebagai pasukan paling kejam dan biadab dalam sejarah benua, tidak menderita kerugian sedikit pun. Seolah-olah mereka sedang berburu kelinci untuk bersenang-senang. Mereka bisa mempertahankan kebuntuan ini selama berbulan-bulan lagi. Dan hasilnya, semua orang di Kastil Nauk akan mati kelaparan hidup-hidup.
Lienne menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku akan menerima lamarannya."
Mashilow dan Weroz hampir bersamaan berteriak.
[Weroz] "Jangan, Yang Mulia!"
[Mashilow] "Ya, jangan! Anda tidak tahu orang seperti apa Tiwakan!"
Sayangnya, Liene sudah cukup mendengar desas-desus. Dikatakan bahwa Panglima Tiwakan adalah putra yang dilahirkan dari dewa perang yang memperkosa seorang wanita manusia. Dewa kematian mengutuknya dan dewa bumi menolak raganya. Oleh karena itu, dia memiliki tubuh yang tidak akan pernah bisa mati di medan perang mana pun.
[Weroz] "Dikatakan bahwa mereka semua adalah orang-orang yang durhaka kepada para dewa. Sebagai buktinya…"
[Liene] "Mereka lebih suka tidur dengan sesama pria daripada dengan wanita," sela Liene dengan lugas. Pernyataan Liene yang blak-blakan membuat Weroz, yang berwatak keras kepala, tergagap.
[Weroz] "Ternyata sudah Anda ketahui. Benar. Pasukan Bayaran Tiwakan... lebih memilih p-pria..."
Sementara itu, penasihat yang lebih berpengalaman menggunakan ungkapan yang lebih jelas untuk mencegah Liene menerima lamaran.
[Mashilow] "Dikatakan bahwa wanita yang tidur dengan mereka akan mudah mati, Yang Mulia."
Kata-kata itu menimbulkan bayangan di sudut mata Liene. Mendengarnya saja sudah cukup mengerikan untuk membuat tubuhnya merinding. Binatang macam apa mereka ini?
[Liene] "Tetapi mereka tidak akan membunuhku dalam satu malam. Jika mereka berniat begitu, mereka tidak akan bersusah payah untuk melamar."
Mashilow berseru dengan tergesa-gesa. "Jangan lakukan, Yang Mulia. Apakah Anda lupa di mana dan apa yang sedang dilakukan Tuan Kleinfelter sekarang? Tuan Kleinfelter demi Anda…"
[Liene] "Ya, dia bilang akan kembali dalam sepuluh hari dengan membawa pasukan bantuan dari Kerajaan Sharka."
Liene bukanlah orang yang memiliki sifat pesimis. Dia hanya berusaha untuk tidak menaruh terlalu banyak harapan. Sebagai Tuan Putri dari Keluarga Arsak, penguasa Kastil Nauk, dia harus bertanggung jawab atas kehidupan semua orang yang tinggal di sana.
[Liene] "Tapi sepuluh hari sudah berlalu. Tidak ada jaminan dia akan kembali, dan tidak ada jaminan dia berhasil mendapatkan pasukan bantuan seperti yang dijanjikan."
[Mashilow] "Mungkinkah Anda tidak percaya pada Tuan Kleinfelter? Dia lebih mengutamakan Anda daripada nyawanya sendiri. Dia pasti akan kembali dengan pasukan bantuan."
[Liene] "Jika dia bisa, dia pasti sudah kembali sekarang. Dalam waktu yang dia janjikan."
Liene merenungkan janji Laffit Kleinfelter, komandan ksatria Keluarga Arsak sekaligus kekasihnya, dengan ekspresi seolah menelan duri.
Ketika berita pertama tentang pengepuan Pasukan Tiwakan tersiar, dia tanpa ragu memimpin pasukan ksatria menuju Kerajaan Sharka. Keluarga terbesar di Kerajaan Sharka adalah keluarga ibunya. Dialah satu-satunya orang yang bisa mendapatkan pasukan bantuan. Hanya sepuluh hari. Dia meminta Liene bertahan selama waktu itu.
Liene juga ingin mempercayai kata-katanya. Tapi di hadapan kenyataan, secercah harapan itu terlalu rapuh.
[Liene] "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan jika dia kembali dengan pasukan bantuan, Kerajaan Sharka tidak akan mengirim pasukan skala besar yang cukup untuk mengalahkan Tiwakan. Negara mana yang mau berperang dengan Tiwakan sekarang? Bahkan Kerajaan Lekes, yang terbesar di benua, telah menandatangani perjanjian damai dengan Tiwakan. Itu pun dengan sangat memalukan."
Fakta bahwa waktu yang dijanjikan sudah terlewati selama lima hari adalah bukti. Mashilow dan Weroz juga tahu betapa buta harapan untuk hanya menunggu pasukan bantuan.
[Liene] "Seperti yang kalian berdua ketahui, apa pun alasannya, Tiwakan bersungguh-sungguh ingin melamarku. Jika tidak, mereka tidak akan mengepung dengan tenang selama setengah bulan sambil menunggu jawaban. Dengan kekuatan mereka, mereka bisa saja menghancurkan gerbang benteng dan meruntuhkan tembok kapan saja."
Menatap kedua orang yang bertanggung jawab atas Kastil Nauk bersamanya, Liene mengambil keputusan. "Sebagai keturunan terakhir dari Keluarga Arsak, aku memiliki kewajiban untuk melindungi Nauk. Jika pernikahan satu orang bisa menyelamatkan semua nyawa di tanah ini, maka pernikahan itu layak untuk diperjuangkan."
"Yang Mulia…" Weroz tidak lagi menolak dan menutup matanya. Penyesalan dan desahan menggantikan kejayaan masa lalu yang telah sirna, mengukir kerutan di sudut mata ksatria tua itu.
Namun, Mashilow gigih. "Lalu bagaimana dengan Tuan Kleinfelter? Keluarga Kleinfelter adalah keluarga terbesar yang berpengaruh di Nauk. Anda tidak bisa memutuskan hubungan secara sepihak tanpa berunding."
Mashilow telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Kleinfelter. Dia salah satu orang yang sangat percaya bahwa Laffit Kleinfelter akan menikahi Liene dan menjadi penguasa Nauk di masa depan.
[Liene] "Berunding pun tidak akan mengubah apa pun."
[Mashilow] "Yang Mulia. Bisakah Anda mengatakannya langsung di depan Keluarga Kleinfelter?"
[Liene] "Justru aku yang ingin bertanya. Apa yang dilakukan keluarga Kleinfelter ketika pasukan Nauk berdarah-darah saat menunggu Laffit kembali?" Raut wajah Liene menjadi dingin.
Meskipun disebut kekasih, hubungannya dengan Laffit tak pernah benar-benar tulus. Keluarga Kleinfelter memegang kekayaan dan kekuasaan yang tidak bisa diremehkan di kerajaan kecil yang sedang runtuh ini. Dengan kekuasaan itu, mereka segera mendesak Liene untuk menikah setelah ayahnya meninggal. Selama ini, Liene menunda pertunangan resmi, berusaha menghindari Keluarga Kleinfelter mencengkeram kekuasaan di Nauk.
Kekasihnya mungkin tulus. Tapi keluarganya terlalu serakah. Mereka akan menggerogoti tempat yang sudah tandus ini hingga hanya tulang yang tersisa.
[Liene] "Aku akan mengirim balasan… kepada Panglima Tiwakan."
Weroz dan Mashilow mengangkat mata dan mengernyitkan dahi masing-masing.
Liene dengan tegas berbicara kepada kedua pria yang menentang lamaran ini dengan alasan yang berbeda. "Aku akan menerima lamaran ini."
Satu jam setelah balasan dikirim. Tempat pertemuan antara pihak yang melamar dan pihak yang dilamar ditentukan. Liene menunggangi kuda, dikawal oleh Weroz dan pasukan penjaga lainnya.
Tak… tak… tak…
Seiring suara tapak kuda yang bertambah, Kastil Nauk semakin menjauh.
[Liene] "......"
Liene sedikit menoleh, memandang kastil yang baru saja ditinggalkannya.
Mungkinkah dia bisa kembali dengan selamat?
Tempat yang disepakati berada tepat di tengah antara Kastil Nauk dan kamp militer Tiwakan. Pihak Tiwakan telah mendirikan tenda militer di sana. Liene memasuki tenda hanya didampingi Weroz.
Meskipun alasannya adalah lamaran, suasananya tidak berbeda jauh dari medan perang. Pasukan dari kedua belah pihak saling berhadapan dengan ketegangan yang mencekam, mengapit tenda di tengah.
[Liene] "…Dia belum datang."
Di dalam tenda militer, yang hanya berisi satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan, terasa kosong.
Weroz menatap kursi kosong di sisi lawan dengan penuh amarah. "Beraninya dia berbuat begini. Mereka adalah orang-orang yang seumur hidup tidak pernah melihat tata krama."
"Berkat ini, kita punya waktu untuk mempersiapkan mental. Anggap saja positif," jawab Liene, terdengar seperti bercanda tapi juga tulus.
Dia merasa lega. Sepanjang perjalanan ke tenda militer, Liene khawatir dirinya akan terlihat ketakutan dan gemetar. Meskipun dia menerima lamaran karena diancam, dia tidak ingin terlihat takut.
[Liene] "......"
Liene menggigit bibirnya saat duduk di kursi. Sebentar lagi, Panglima Tiwakan, yang disebut sebagai anak haram yang dibuang dewa perang ke bumi, akan masuk.
Jangan gemetar.
Liene mengepalkan tinju di pangkuannya.
Jangan sampai diremehkan. Ini bukan lamaran, tapi negosiasi. Apa pun yang mereka inginkan, jangan berikan dengan mudah.
[Weroz] "Yang Mulia."
Tiba-tiba Weroz memanggil Liene. Suaranya yang sangat rendah terdengar tidak biasa. "Aku mendengar suara."
[Liene] "…Ya?"
[Weroz] "Ini jelas suara pedang."
[Liene] "Apa maksudnya?"
"Sepertinya terjadi pertempuran. Ada alasan apa orang biadab itu bertarung dengan sesamanya… Ah!" Weroz berseru, wajahnya berseri-seri. Dia menampar lututnya sendiri, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Pasti Tuan Kleinfelter! Dia datang dengan pasukan bantuan dan menyerang Tiwakan!"
"Apa katamu?" Liene tiba-tiba berdiri. "Sekarang dia… tidak, kalau begitu artinya aku tidak perlu menerima lamaran ini?"
"Tentu saja, Yang Mulia! Jika Anda mengizinkan, saya akan pergi melihat ke luar. Tidak, lebih baik kita segera kembali sekarang. Mereka sedang terlibat dalam pertempuran, mereka tidak akan sempat meminta pertanggungjawaban kita karena melanggar janji."
Weroz memimpin, mendesak Liene untuk bergegas. "Cepatlah, Yang Mulia."
Tepat saat Liene hendak melangkah, seperti lelucon yang kejam, pintu masuk tenda terangkat.
Swuusss, kibas!
Cahaya yang luar biasa menyilaukan menerobos masuk ke dalam tenda yang tadinya remang-remang. Liene melepaskan tangan Weroz dan mengernyitkan dahi. Saat kelopak matanya berkedip secara otomatis, siluet hitam perlahan mengambil bentuk dalam pandangannya yang memutih.
…Dia besar.
Liene tahu dia besar bahkan hanya dari siluetnya. Hitam, besar, kokoh… dan pasti sangat buas.
[Black] "Maaf, aku terlambat."
Suara yang kering dan malas, seperti rumput kering yang ditiup angin, menggetarkan telinga Liene.
[Black] "Senang bertemu dengan Tuan Putri Nauk."
Panglima Tiwakan telah tiba. Tepat pada saat Liene berusaha melarikan diri dari lamarannya yang barbar.

Mata Liene berkaca-kaca karena silau. Liene memaksakan matanya yang ingin terpejam untuk tetap terbuka lebar, menatap pria yang mendekat ke arahnya.
Hanya melihatnya saja sudah cukup untuk membuat napas tercekat. Tubuhnya yang luar biasa memancarkan aura dominasi. Setiap langkah pria itu membuat kulit Liene merinding. Rambut pria itu hitam pekat, dan sebaliknya, matanya yang biru pucat jernih seperti air, lebih mirip mata binatang buas daripada manusia.
Dia memiliki penampilan yang sangat kuat. Liene belum pernah melihat orang dengan penampilan seperti ini. Hanya dengan bertatapan mata saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, namun pandangannya terkunci, seolah kaku, tidak bisa dilepaskan.
Sungguh tak bisa dipercaya, orang barbar yang lebih mirip binatang daripada manusia, ternyata tampan. Kombinasi rambut hitam dan mata yang bagai danau bening sungguh memukau.
Tidak mungkin…
Liene memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. Meskipun begitu, kejutan yang ditimbulkan oleh ketampanan sang pria tak kunjung hilang.
Sadarlah. Fakta bahwa pria itu tidak terlihat seperti orang barbar tidak mengubah apa pun.
Comments