A Barbaric Proposal Chapter 18
- Crystal Zee
- May 19
- 8 min read
Updated: 2 days ago
~Jebakan (2)~
Andai saja Liene butuh alasan, ia punya satu yang bisa digunakan. Sangat mudah untuk mengatakan kalau dirinya merasa tak enak badan karena kehamilan, sehingga tak dapat menghabiskan malam bersama pria itu. Namun, alasannya takkan bertahan lama.
Setelah mengucapkannya, Liene harus segera melahirkan anak begitu mereka menikah. Black akan menjadi ayah biologis sang bayi, tentu saja, tetapi setidaknya anak tersebut akan mewarisi nama keluarga Arsak, sesuai perjanjian mereka, dan kelak menjadi penguasa Nauk berikutnya.
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, maka akan menjadi akhir terbaik yang bisa Liene harapkan. Ia memang dipaksa menikah, tetapi setidaknya ia masih bisa melindungi segala yang penting baginya, sambil meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi.
…Setidaknya, untuk dirinya sendiri.
Namun, tidak demikian halnya bagi Black. Jika Liene terus membohonginya, pria itu harus hidup tanpa pernah tahu bahwa anak tersebut adalah darah dagingnya. Memikirkan konsekuensi itu membuat batin dan hati Liene terasa berat, karena alasan yang sama sekali berbeda.
Bahkan jika dapat melindungi Nauk… sanggupkah aku melakukannya…?
[Nyonya Flambard] “Apa yang sedang Yang Mulia pikirkan?”
Saat imajinasi Liene melayang liar, suara Nyonya Flambard yang ramah berhasil menembus lamunannya.
[Liene] “Oh….”
[Nyonya Flambard] “Bagaimana Yang Mulia akan menolak malam pertama pernikahan?”
Liene belum mengambil keputusan.
[Liene] “Aku belum yakin.”
Alasan yang ia miliki saat ini hanya berlaku hingga siklus demam bulanannya usai. Setelah itu, Liene membutuhkan dalih lain untuk menolak berbagi ranjang dengan pria itu, sampai ia berhasil membereskan semua masalah.
[Liene] “Pertama, aku perlu memikirkan….”
Tok, tok.
Ketukan tiba-tiba di pintu memotong ucapan Liene.
[Nyonya Flambard] “Dia pasti sudah kembali.” Nyonya Flambard segera bangkit berdiri. “Aku akan membukakan pintu untuk Yang Mulia. Sebaiknya Anda menenangkan diri sebaik mungkin.”
Sambil memperhatikan punggung Nyonya Flambard yang melangkah cepat menuju pintu, Liene dengan lembut mengusap wajahnya dengan telapak tangan untuk menenangkan diri. Namun, usahanya percuma.
[Nyonya Flambard] “Ya, saya akan membukakan pintu untuk Anda!” seru Nyonya Flambard sambil membuka pintu, sebelum kemudian menjerit kaget.
[Liene] “Nyonya?”
Mendengar jeritan wanita itu, Liene melompat berdiri karena terkejut, dan saat ia melihat langsung sumber keterkejutan, seluruh tubuhnya mengeras seperti patung.
Bukan Black yang muncul di ambang pintu.
[Laffit] “Aku baru saja mengetahui sesuatu.”
Dia adalah Laffit.
Laffit Kleinfelter, satu-satunya orang yang seharusnya tidak berada di sana, kini berdiri di Kastil Nauk.
Laffit menerobos melewati Nyonya Flambard yang tak mampu menghilangkan rasa terkejutnya dan kalang kabut, lalu Laffit membanting pintu di belakangnya dengan keras.
[Laffit] “Benarkah, Putri? Bahwa kau hamil… anakku?”
Tentu saja tidak. Dia seharusnya tahu kebenarannya lebih baik dari siapa pun di dunia ini.
[Liene] “Pergi. Sekarang juga.” Liene mengangkat tangan, menunjuk pintu dengan sikap menantang. “Aku tidak tahu apa yang ada dalam benakmu saat datang ke sini, tetapi prajurit Tiwakan memiliki mata dan telinga di mana-mana, terutama di tempat ini. Seharusnya sudah jelas, jadi pergilah.”
[Laffit] “Tidak sampai aku mendapatkan jawaban.”
Mendengar pria itu melontarkan omong kosong, membuat tulang punggungnya menggigil. Liene menghentakkan kakinya.
[Liene] “Apa yang kau bicarakan? Kau seharusnya tahu jawabannya lebih baik dari siapa pun!”
[Laffit] “Aku tidak tahu! Bagaimana aku bisa tahu apa yang benar?! Kita terpisah lebih dari lima belas hari!”
Warna sepenuhnya hilang dari wajah Liene yang memang sudah pucat pasi.
[Liene] “A… apa yang kau bicarakan?”
[Laffit] “Kau tidak pernah sekalipun mengizinkanku tidur denganmu, Putri. Jadi, apa maksudnya dirimu hamil anakku?”
[Liene] “Itu….”
Liene menggigit bibirnya erat-erat. Ia takut, jika tidak menahan diri, ia mungkin akan melontarkan kata-kata kejam yang belum pernah ia gunakan sebelumnya.
[Liene] “Apa kau benar-benar menanyakannya padaku? Kau?”
[Laffit] “Aku perlu mendengar penjelasan darimu. Apa maksudmu dengan ‘anak’?”
Sebelum detik ini, tidak pernah terlintas dalam benak Liene bahwa Laffit tidak akan memahami maksudnya. Laffit yang ia kenal takkan pernah sebodoh itu. Jadi, apa yang pria itu lakukan saat ini adalah berusaha memastikan apa yang ingin ia ketahui. Ia ingin mendengar Liene mengatakannya secara lantang.
Bahwa Liene telah berbohong tentang kehamilannya demi menolak lamaran dari Tiwakan. Bahwa ia begitu putus asa untuk menolak lamaran tersebut, sampai-sampai rela berbohong.
[Laffit] “Apa kau memberitahu orang barbar itu bahwa kau hamil anakku?” Suara Laffit menjadi penuh kasih sayang dan melankolis setiap kali ia berbicara. “Apa kau memberitahunya bahwa hatimu sudah ada yang memiliki? Apa kau memberitahunya bahwa akulah milikmu, dan ayah dari anak masa depanmu?”
[Liene] “…”
Liene merasa kepalanya semakin pusing. Seolah kebohongan yang ia ucapkan untuk menolak lamaran kini berputar-putar, bermutasi menjadi monster karena semakin banyak orang membicarakannya.
[Laffit] “Kau memberitahu binatang itu bahwa kau adalah milikku.”
[Liene] “Tidak, bukan itu yang ku….”
Saat Laffit mendekati dengan tangan terulur seolah ingin memeluknya, Liene mengambil langkah mundur, tetapi ia terus mendekat tanpa ragu.
[Laffit] “Apa maksudmu?”
[Liene] “Aku hanya mengatakan apa yang harus kukatakan untuk menghindari lamaran. Aku tidak berpikir dia akan tetap ingin menikahiku walaupun aku mengatakan aku sudah punya anak.”
[Laffit] “Sama saja, bukan?”
[Liene] “Berbeda.”
Liene menolah lamaran bukan karena ia mencintai Laffit Kleinfelter. Itu hanyalah delusi ia Laffit buat untuk menolak kenyataan.
[Laffit] “Tidak berbeda. Pria mana pun akan tetap melamarmu.”
[Liene] “Berbeda…”
Liene berhenti bicara. Terlalu banyak yang ingin ia katakan, tetapi tidak cukup kata untuk mengungkapkannya. Bagaimanapun, seluruh situasi ini sangat membuat frustrasi. Laffit bertingkah seolah perbuatan kejamnya pada Liene tak pernah terjadi, padahal terjadi di rumahnya sendiri.
Bagaimana bisa bertingkah seperti itu? Bahkan masih ada bekas luka di telapak tangannya karena kejadian kemarin.
Dia sudah bertindak terlalu jauh. Laffit telah lupa di mana seharusnya kesetiaannya berada—bahwa Liene adalah anggota keluarga kerajaan dan berhak atas rasa hormat serta ketaatannya.
Tetapi pada akhirnya, Laffit tetaplah seorang Kleinfelter, dan fakta bahwa darah Kleinfelter mengalir dalam nadinya tak terbantahkan. Liene ingin menertawakan dirinya di masa lalu yang pernah percaya bahwa Laffit berbeda.
[Liene] “Aku akan menikahi Lord Tiwakan, dan anak yang lahirkan nanti akan mewarisi nama Arsak dan menjadi Raja Nauk berikutnya. Itulah jalan yang kupilih untuk melindungi apa yang penting bagiku.”
[Laffit] “Tapi kau sudah berbohong bahwa dia anakku. Apa kau benar-benar berpikir monster itu akan membiarkan anak dari pria lain tetap hidup?”
[Liene] “Dia akan melakukannya. Dia sudah berjanji padaku!.”
[Laffit] “Kau terlalu naif. Sudah kubilang sebelumnya, bukan? Barbar itu punya rencana balas dendam pada Nauk. Apapun yang terjadi, dia akan memastikan ada pertumpahan darah untuk dendamnya.”
[Liene] “Jangan mencoba menyampaikan rumor yang belum pasti kebenarannya. Aku sudah bilang tidak percaya. Dia tidak akan pernah menawarkan untuk membuat perjanjian pernikahan jika dia tidak berniat menepati janjinya.”
[Laffit] “Perjanjian? Kau sudah membuat perjanjian pernikahan dengan makhluk buas itu? Dia bisa melanggarnya kapan saja dia mau.”
[Liene] “Mengapa kau bersikeras mempersulit masalah? Tidak akan ada gunanya membuat janji semacam itu jika dia berencana untuk tidak menepatinya”
[Laffit] “Mungkin dia menjanjikannya untuk memaksamu menerima lamaran.”
[Liene] “Kau salah.”
Mulut Liene terpelintir, membentuk senyum hampa.
[Liene] “Kau tahu kalau dia bisa saja mendobrak gerbang, bukan? Dia bisa saja membunuh semua penjaga Kastil Nauk dan menyeretku ke altar jika perlu. Dia tidak harus menulis janji atau membuat janji apa pun untuk memaksaku menjadi pengantinnya jika dia mau.”
[Laffit] “Liene…”
Wajah Laffit terdistorsi saat Liene menghadapinya. Menatap pria itu, ia mengucapkan kata-kata terakhirnya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
[Liene] “Jika masih ada kesetiaan dalam dirimu untuk keluarga Arsak atau Nauk, maka tinggalkan tanah ini. Saat ini, aku bukan lagi kekasihmu. Ini adalah perintah dariku sebagai Penguasa Nauk. Jika kau mengerti, maka pergilah.”
[Laffit] “Bagaimana bisa kau….”
Tepat saat Laffit mulai menggertakkan giginya—
[Nyonya Flambard] “Yang Mulia!” Suara mendesak Nyonya Flambard menyela di antara keduanya. “Kita dalam masalah! Dia sedang dalam perjalanan kembali!”
[Liene] “Apa?” Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang berderak di dalam hati Liene.
Begitu mendengarnya, Liene mulai mendorong Laffit ke arah jendela besar. Ada pagar di luar yang bisa ia pijak. Memang tidak nyaman, tetapi Laffit harus bersembunyi agar tidak tertangkap. Mereka tidak punya pilihan—sudah terlalu terlambat untuk melarikan diri.

Liene mulai menutup jendela, menutupi mulut Laffit dengan tangannya tepat saat ia menyadari pria itu mencoba mengatakan sesuatu.
“Jangan membuat suara sedikit pun dan tetaplah diam. Aku tidak akan bisa berbuat apa-apa untukmu jika kau sampai tertangkap.”
Klik, klak!
Tepat saat Liene menutup jendela, Nyonya Flambard mengangkat suara dan membuat pengumuman, “Yang Mulia, Lord Tiwakan telah tiba.”
Langkah kaki.
Liene buru-buru berbalik dari jendela, jantungnya berdebar kencang di dada. Memfokuskan diri, ia menelan kegelisahannya.
[Liene] “Biarkan dia masuk.”
[Nyonya Flambard] “Baik, Yang Mulia.” Dengan tangan gemetar, Nyonya Flambard membuka pintu lebar-lebar. “Silakan masuk.”
Tanpa memberi Liene kesempatan untuk menenangkan diri, Black memasuki ruangan. Mata birunya menatap lurus ke arahnya dan ia begitu gugup hingga hampir menggigit lidahnya sendiri.
[Black] “Apa terjadi sesuatu?”
Mata birunya seolah melihat menembus dirinya. Bahkan jika ia tidak punya apa-apa untuk disembunyikan, ia akan tetap merasa gugup.
…Tetaplah tenang. Dia belum melihat apa pun. Semuanya akan baik-baik saja… dia tidak tahu siapa yang bersembunyi di sini.
[Liene] “Tidak ada yang istimewa. Mengapa kau bertanya demikian?”
[Black] “Kau memanggilku.”
[Liene] “Aku melakukannya?” Mata Liene berkedip kebingungan. Ia tidak begitu mengerti apa yang dibicarakan Black.
[Black] “Kupikir ada sesuatu yang kau butuhkan dariku.”
[Liene] “Oh….”
Seketika Liene merasa beban terangkat dari pundaknya. Sepertinya kabar kedatangan Laffit di kastil belum menyebar. Ini hanya tentang pesan yang mereka kirimkan mengenai pengukuran pakaian.
Melepaskan cengkeraman pada roknya, Liene melanjutkan dengan suara tenang.
[Liene] “Saat kami sedang menyesuaikan pakaian, aku menyadari ada beberapa pengukuran yang aku lewatkan. Aku ingin bertemu denganmu lagi agar bisa mendapatkan angka-angka tersebut jika kau punya waktu.”
[Black] “Pengukuran…. Hanya itu?”
[Liene] “Ya.”
Mata biru Black berkedip perlahan. Meskipun wajahnya terlihat tanpa ekspresi, Liene melihat sedikit kerutan samar di dahinya.
Apa dia kesal? Itu tidak akan mengejutkanku… Aku memang membuatnya kembali untuk sesuatu yang begitu tidak penting. Mungkin itu penyebabnya.
[Black] “…”
Namun, sepertinya bukan itu masalahnya. Meskipun Liene tidak bisa memastikan mengapa, tapi Black tidak terlihat marah padanya.
[Black] “Kalau begitu, ukurlah.” Mendekati Liene, Black merentangkan tangannya.
[Liene] “Sebenarnya kali ini….”
Kali ini Nyonya Flambard yang akan melakukannya. Tolong temui dia bukan aku.
Ia perlu mengatakannya, tetapi alih-alih demikian, saat Black mendekat, Liene menatapnya dengan saksama dan matanya langsung tertuju pada wajah sang pria.
…Dan saat itulah ia menyadari ada bau keringat.
Semakin dekat Black, semakin jelas ia bisa mencium bau keringat di tubuh pria itu. Dahi Black lembap, jadi mungkin itulah alasannya, tetapi memikirkannya membuat Liene merasa aneh.
[Liene] “…Apa… apa kau berlari ke sini?” Suara Liene lembut seperti bisikan.
[Black] “Ya.”
[Liene] “Mengapa kau….”
[Black] “Seperti yang kukatakan, kupikir kau membutuhkanku.”
Swish.
Ketika Liene mendengar suara itu, ia menyadari Black mengangkat tangannya dan menyelipkan jemarinya ke rambutnya. Saat suara gesekan menyentuh telinganya, rasanya lembut dan anehnya menggelitik.
Aneh sekali.
Liene bergumam pada dirinya sendiri. Memikirkan pria yang bersusah payah hingga berkeringat hanya untuk bertemu dengannya setelah mendengar bahwa Liene membutuhkannya. Pria ini rela melakukannya demi Liene…
Sementara itu, aku….
[Liene] “Kau membutuhkan pengukuran ini, Lord Tiwakan.”
Liene bahkan tidak menyadari bahwa pipinya telah berubah menjadi merah muda yang menawan, atau bahwa suaranya menjadi lebih lembut setiap kali ia berbicara kepada Black.
[Liene] “Pakaian tidak akan pas jika aku tidak mendapatkan ukuran yang benar.”
[Black] “Jika aku tahu hanya itu, aku tidak akan terburu-buru sampai di sini. Aku tidak ingin kau menganggapku orang yang tidak bersih.”
[Liene] “Tidak seburuk itu.”
Bahkan mungkin sebaliknya.
Bau keringatnya memperkuat aroma alami Black. Aromanya menari-nari di ujung hidung Liene, tetapi ia tidak merasa jijik. Sebaliknya, membuat bagian belakang tenggorokannya terasa panas.
…Aku harus menjauh.
Ia tidak ingin Nyonya Flambard menangkap mereka dalam posisi berdekatan.
Liene dengan lembut meletakkan tangannya di dada Black seolah hendak mendorongnya menjauh, tetapi tidak ada kekuatan di baliknya.
[Liene] “Aku tidak bisa mengukurmu sampai kau melepaskanku.”
[Black] “Sebentar lagi.”
Black tidak melepaskan Liene, malah menggunakan tangan yang lain untuk menggenggam tangannya sambil terus menyelipkan jemarinya ke rambut Liene.
[Liene] “Apa semuanya baik-baik saja?” Liene bertanya dengan suara pelan, pikirannya masih sangat sadar akan Nyonya Flambard yang menunggu di luar.
[Black] “Aku tidak tahu. Kurasa aku hanya terkejut… Bukan, itu bukan kata yang tepat… lebih tepatnya khawatir. Aku punya firasat buruk.”
[Liene] “Khawatir?”
Ketika ia bertanya apa yang membuatnya merasa khawatir, Black mengencangkan cengkeramannya pada tangan Liene. Tidak menyakitkan, tetapi jelas kuat.
[Black] “Aku menerima laporan bahwa putra tidak sah Keluarga Kleinfelter diduga memasuki kastil. Pada saat yang hampir bersamaan, aku diberitahu kau mencariku, Putri. Jadi kupikir ada sesuatu yang terjadi.”
…Deg.
Jantung Liene berdebar, sebaris irama hilang seolah jatuh ke dalam dadanya.
Dia tahu….
Hawa dingin menjalar di seluruh tulang punggungnya.
Black melirik ke bawah ke wajah Liene yang pucat pasi saat ia melilitkan rambut emas indah Sang Putri di jemarinya. Apa yang tadinya merupakan sentuhan lembut dan menggelitik, tiba-tiba memiliki makna yang sama sekali berbeda.
Seolah Black sedang mengikat Liene pada dirinya.
Seolah memberitahunya bahwa ia tidak bisa lepas begitu saja dari pria itu.
“Apa pengukuran satu-satunya hal yang kau butuhkan dariku?”
Comments