Bastian Chapter 93
- 8 Sep
- 5 menit membaca
ā»Hari Kemenanganā»
Peninjauan dimulai saat kapal barisan depan berlayar. Kapal-kapal perang membentuk barisan di luar pelabuhan. Mereka mengambil posisi dalam barisan panjang yang membentang di sepanjang cakrawala.
Di pelabuhan, kerumunan orang berkumpul dalam kelompok tebal untuk menyaksikan kapal-kapal yang lewat, antusiasme mereka tidak pernah goyah selama proses yang panjang. Mereka bertahan saat hampir seratus kapal mengambil giliran mereka untuk berbaris. Pada saat kapal terakhir mengambil tempatnya, barisan membentang sejauh mata memandang.
Odette memfokuskan perhatiannya pada kapal utama, kapal barisan depan. Kenangan dua hari terakhir meleleh dari pikirannya seperti mentega. Sejak mengembalikan dokumen-dokumen yang dicuri pada Bastian, waktu terasa menyimpang, meninggalkan perasaan seperti ia tidak benar-benar hidup dalam pikirannya sendiri.
"Odette, kau terlihat menakjubkan hari ini," suara ramah menembus kesadarannya yang semakin jauh.
Terkejut, Odette berbalik untuk menghadapi sumber suara itu dan melihat Kaisar dan Permaisuri mendekatinya. Mereka pasti telah naik ke kapal tanpa ia sadari. Pangeran, istrinya, dan Putri Valerie juga bersama mereka.
"Aku lihat kau ingin sekali kembali bersama suamimu, kalau begitu aku harus bergegas," kata Kaisar, melirik ke laut, ke arah barisan depan. Lelucon ringannya memancing tawa berbisik dari Permaisuri.
Odette sempat sedikit kehilangan ketenangannya, tetapi ia dengan cepat menguasai diri, membuat ekspresinya terlihat seperti orang yang terlalu gembira. Ia memberi mereka senyum hangat, tidak terlalu hangat, hanya cukup untuk memberikan kesan istri muda yang malu-malu.
Saat Kaisar dan keluarganya duduk, kegembiraan yang meresap ke dek kapal peninjau secara bertahap mereda. Odette duduk di kursinya di belakang Pangeran dan istrinya. Meskipun sakit kepalanya memburuk, ia menolak menghilangkan senyumnya. Ia seperti wanita paling bahagia di dunia. Semua demi melindungi adiknya.
"Lihat ke sana, Odette, ayo." Odette dibangunkan oleh suara gembira Marchioness Demel. Wanita itu menunjuk ke kapal utama, yang sama dengan yang dinaiki Bastian. Kapal itu memberi hormat, menandai dimulainya upacara.
Kaisar naik ke podium dan para tamu bangkit dari tempat duduk mereka. Odette mengikuti, berusaha untuk menjaga keseimbangannya. Dengan armada yang sejajar, para prajurit terlihat di dek, berdiri tegak dan memberi hormat. Setelah hormat, band memainkan lagu kebangsaan kekaisaran.
Kapal peninjau Kaisar perlahan-lahan melayang melewati kapal barisan depan, para prajuritnya menjadi noda jauh dari bayangan gelap. Namun, kenangan Bastian melekat di benak Odette.
Kehadiran Mayor Klauswitz menyala seperti matahari siang, kecerahannya tidak meninggalkan kelonggaran bagi mata Odette. Mengingatkannya pada pertemuan di lounge Hotel Reinfeldt.
Odette menggelengkan kepalanya, ingin sekali melupakan kenangan itu. Bastian hanya melihat pernikahan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Bastian hanya mejadi miliknya selama dua tahun dan setelah itu, akankah ia dibuang seperti sampah? Mereka telah berbagi momen kasih sayang, tetapi ternyata kasih sayang itu berasal dari keinginan Bastian untuk menidurinya. Bastian tidak pernah goyah dalam keputusan awalnya.
Peninjauan berlangsung hingga jauh ke sore hari. Kaisar dengan bangga menampilkan kekuatan angkatan lautnya untuk dilihat semua orang dan merasa senang sambil tersenyum.
"Sekarang, bagaimana kalau tepuk tangan untuk istri sang pahlawan?" kata Kaisar, menatap Odette. Dengan cepat, ia mengatur tepuk tangan dari semua tamu di kapal.
Meskipun agak tidak terduga, Odette tetap teguh semampunya. Awalnya dengan senyum anggun dan anggukan, ia melambaikan tangan seperti yang hanya pantas bagi istri seorang pahlawan.
Ketika matahari terbenam, lampu-lampu meriah menerangi Lausanne dan memberi kehidupan pada kota. Bendera-bendera negara dan lentera-lentera berwarna-warni di setiap jalan, Sandrine menikmati pemandangan yang menakjubkan. Ia bersandar di pagar, asap rokok dengan malas melayang dari mulutnya.
"Ada desas-desus bahwa ia akan membawa istrinya ke pos barunya," katanya.
"Ah, ya, sudah saya kira ia akan melakukannya, apakah Anda mendengar hal lain?" kata wanita bangsawan di samping Sandrine.
Odette, Odette, Odette, Pada pesta kapal yang diselenggarakan oleh kaisar, nama "Odette" terdengar di mana-mana.
"Belum ada, jadi saya kira semuanya berjalan sesuai rencana. Tidak seperti Bastian yang membalikkan keputusan pada menit terakhir." Sandrine melihat ke seberang dek. Ia bisa melihat Bastian mengobrol dengan Pangeran Mahkota Belov.
"Kau meremehkannya. Ketika menyangkut cinta, ia memiliki kemampuan untuk berubah menjadi orang yang sangat berbeda, lebih tidak menentu dan tidak terduga." Wanita bangsawan itu mengamati dengan senyum.
"Memang," kata Sandrine, menghembuskan lebih banyak asap. "Siapa sangka Bastian, dari semua orang, akan menjadi sosok yang begitu dicintai, tidak mengherankan jika hal yang tidak terduga terjadi."
"Benar, kisah mereka adalah contoh nyata bahwa segalanya bisa terjadi di luar dugaan."
Di tengah lelucon yang mengejek, Odette memutuskan untuk muncul, menarik perhatian semua istri perwira junior. Ada sesuatu yang terasa aneh tentang dirinya, Sandrine bisa merasakannya saat ia menyipitkan matanya pada Odette seperti kucing yang mengantuk. Ia tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah Bastian mencoba mengubah wanita ini menjadi istri sejati.
Di tengah musik ceria dan nada-nada tawa yang ambient, botol-botol sampanye dibuka dengan klimaks yang eksplosif. Sandrine mengabaikan semuanya, mengawasi Odette dengan cermat. Meskipun kelelahannya terlihat jelas, ada aura kesejukan yang unik di sekitarnya. Kecantikan yang menyedihkan. Sandrine tahu ia menghadapi lawan terberat.
Ia menghela napas dan meletakkan rokok. Ia sepenuhnya menyadari keinginan Bastian, ia mengerti bahwa itu naluri primitif, cara untuk memuaskan kebutuhan seksualnya sambil dengan nyaman menutup mata terhadap masalah lain. Penampilan kasih sayang mereka di depan publik tidak berbeda. Sandrine berpegang pada keyakinan bahwa Bastian tidak bisa dengan mudah digoyahkan, pasti ada sesuatu yang lain.
Sandrine berjuang dengan pemikirannya untuk waktu yang lama. Ia meninggalkan kelompok yang ia kunjungi dan menuju Bastian.
Bastian sebelumnya pernah berkata ingin bertemu ayah sebelum penempatan di pos barunya. Ayah menganggapnya sebagai urusan penting. Sandrine kira mereka akan membicarakan pernikahan mereka, mengingat pernikahan pura-pura Bastian dengan Odette akan berakhir dalam dua tahun.
Tapi bagaimana jika pembicarannya tentang sesuatu yang lain?
Tepat saat Sandrine mencapai Bastian, ia berbalik. Bastian tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut melihat dirinya mendekat.
"Selamat, Bastian. Sekarang, Ā Kurasa aku harus memanggilmu Mayor Klauswitz." Tanpa ragu, Sandrine mengulurkan tangannya, sepenuhnya siap untuk penolakan. Anehnya, Bastian menanggapi dengan kebaikan, mengambil tangannya.
"Terima kasih, Countess Lennart."
"Apakah aku benar berpikir bahwa kau akan berangkat minggu depan?"
"Ya," katanya datar.
"Nah, karena kau tidak mengadakan pesta perpisahan, aku harus mengucapkan selamat tinggal dan semoga sukses." Sandrine menghela napas menyedihkan. "Semua orang berbicara tentang bagaimana kau berencana untuk membawa istri bersamamu."
"Tidak ada yang berubah, Countess, itu hanya desas-desus palsu, aku dapat meyakinkan dirimu." kata Bastian, mengangkat alis. Mata Sandrine berkilauan dengan kegembiraan.
"Kau serius kan? Dia akan tinggal di sini?"
"Ya, dia akan tetap tinggal."
Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan dengan ayahku sebelum berangkat ke medan perang?" Sandrine mengutarakan pertanyaan yang telah ia siapkan. Harga dirinya kini menjadi segalanya. Andai saja ia bisa menenangkan kecemasannya yang mengalir bagai racun di nadinya.
"Yah, aku hanya berpikir kami bisa memanfaatkan waktu untuk berkolaborasi antara Illis dan Laviere," jawab Bastian.
"Bisakah kita pastikan janji itu sekarang? Apa tempat ini cocok?" desak Sandrine.
"Hmm," Bastian memberikan jawaban yang menggantung, sebuah teka-teki yang menolak untuk diselesaikan.
"Kalau begitu, semoga berhasil, Bastian. Aku akan menantikan kepulanganmu," ujar Sandrine. Ia meletakkan tangan di bahu Odette, seolah menunjukkan persahabatan, "Hai, Odette. Selamat bersenang-senang."
Sandrine tak bisa tidak menyadari betapa pucatnya wajah Odette. Ia lalu melewati wanita muda itu dan berjalan menuju dek kapal.
Sisa cahaya matahari terbenam memancarkan rona gelap di atas laut. Malam yang meriah bersinar dengan cahaya oranye terang, diiringi tawa dan alunan musik yang terbawa angin, melintasi seluruh kota.
Komentar