Bastian Chapter 67
- 18 Agu
- 6 menit membaca
Diperbarui: 19 Agu
~ Trill~
Dari semua orang di dunia, Bastian memang pria paling aneh. Sejauh apa pun memikirkannya, hanya itulah satu-satunya kesimpulan yang bisa Odette tarik.
Bastian perlahan mendekati piano dan menatap partitur musik dalam diam untuk waktu yang cukup lama. Tatapan tajamnya begitu serius, seolah memiliki pemahaman mendalam tentang musik dan melodi.
"Aku meninggalkan pesan memintamu untuk tidur duluan. Apa kau tidak tahu karena tidak bertemu Dora?" Odette memecah keheningan menyesakkan.
"Aku mendengar pesannya," jawab Bastian tanpa mengalihkan pandangan dari partitur.
"Lalu kenapa kau tidak tidur duluan?" Odette bertanya, bingung.
Tangan Bastian tetap berada di tuts piano saat menjelaskan, "Aku hanya tidak bisa tidur."
Setelah memainkan tuts putih, Bastian mengalihkan fokusnya ke tuts hitam. Akhirnya, ia menoleh menghadap Odette, menunjukkan senyum tipis di bibir. Situasi itu tidak terduga bagi Odette; alih-alih dimarahi karena mengganggu rutinitas tidur Bastian, pria itu tampak berada dalam suasana hati yang sama sekali berbeda.
"Aku minta maaf," Odette berbicara, merasa malu. "Memang butuh waktu lebih lama dari perkiraan karena belum cukup berlatih, tapi aku tidak bermaksud merepotkanmu. Aku akan pastikan tidak akan terjadi lagi."
Bastian sedikit mengangkat alisnya menanggapi permintaan maaf Odette sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke partitur.
Bastian mengangkat pandangannya dari tuts dan mengarahkannya ke partitur, menunjuk sebuah simbol dengan tangannya. "Bisa kau beri tahu apa ini?" tanyanya.
Odette memeriksa partitur musik dan mengenali simbol yang Bastian tunjuk. "Itu trill," jawabnya dengan tenang, meskipun pertanyaan itu sedikit tidak jelas.
"Trill?" ulang Bastian, istilah itu terdengar asing baginya.
"Ya, trill," Odette mengonfirmasi, melangkah lebih dekat ke partitur dan mempelajari nama notasi musik di samping nada kecil.
Bastian menunduk dan mengamati profil Odette saat wanita itu berdiri di sampingnya di depan piano. "Apakah itu suara ombak yang kudengar?" tanyanya.
Odette menatap Bastian, matanya melebar karena terkejut. Segera, ia tersenyum penuh kekaguman. "Apa kau bicara tentang bagian ini?" tanyanya, meletakkan tangannya di tuts piano dan memainkan trill. Melodi lembut dan bergelombang itu tetap terngiang dalam benak Bastian setelah berakhir. "Trill adalah nada hiasan," jelasnya.
"Hiasan?"
"Ya, hiasan," ulang Odette, membenarkan pemahaman Bastian. "Nada piano memiliki durasi pendek," tambahnya, menekan sebuah tuts untuk mendemonstrasikan. Meskipun menekannya dengan keras, suaranya cepat memudar. "Tapi jika kau ingin memperpanjang nada, kau bisa melakukan ini." Odette memainkan trill lagi, dengan cepat menekan tuts sebelumnya, tuts di sebelahnya, dan tuts setelahnya. "Aku menghiasinya dengan nada-nada di sekitarnya untuk menjaga agar nada utama terus berlanjut," jelasnya, sebelum melangkah mundur dari piano. "Mau coba?"
Bastian menatap Odette terkejut. "Aku?" tanyanya tak percaya.
Odette hanya mengangguk tenang. Meskipun merasa bingung, Bastian perlahan mengangkat tangannya ke tuts piano dan mencoba meniru teknik wanita itu. Namun, suara yang dihasilkan tidak tenangālebih mirip ombak bergejolak dan bergemuruh.
Saat Bastian melepaskan tuts dan tertawa terbahak-bahak, Odette menanggapi dengan tepuk tangan formal.
"Sebenarnya tidak buruk sama sekali," pujinya, dengan lihai berbohong. "Aku akan bilang, sebanding dengan kemampuan menembakku." Odette memiliki bakat untuk memberikan penolakan lembut.
Kekeh tawa Bastian membuat Odette tersenyum lembut, dan untuk sesaat, mereka berbagi tatapan nyaman. Namun, momen mereka tiba-tiba terputus oleh kehadiran Margrethe.
Berdiri di antara mereka, Margrethe mulai menggeram pada Bastian, menyebabkan suasana menakjubkan itu menghilang.
"Kau tidak boleh begitu, Margrethe," tegur Odette, merasa malu dengan perilaku anjingnya. Tapi Margrethe tetap teguh, memperlihatkan giginya dengan waspada ke arah Bastian.
"Maafkan aku," Odette meminta maaf. "Aku rasa karena Margrethe masih takut padamu."
Dengan rasa mendesak, Odette meredakan situasi dengan mengangkat Margrethe. Ia menahan diri untuk tidak menyuarakan harapannya bahwa segalanya akan membaik seiring waktu. Lagipula, tidak ada kebutuhan nyata bagi Margrethe dan Bastian untuk membangun hubungan lebih dekat, dan menyadari hal ini membantunya menjernihkan pikiran yang sebelumnya kusut.
Saat Odette merenungkannya, ia bertanya-tanya mengapa Bastian tetap diam. Sepanjang hari, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan tentang penugasan luar negeri yang akan datang. Waktu terasa berlalu terlalu cepat.
Setelah Margrethe tenang, tiba-tiba keheningan mendalam menyelimuti mereka. Untungnya, gangguan sebelumnya tampaknya tidak terlalu memengaruhi Bastian.
Odette, yang mulai merasa lebih santai, dengan hati-hati meletakkan Margrethe di lantai, dan kemudian mulai merapikan partitur. Matanya beralih ke objek yang menarik perhatian Bastian, ia segera mengalihkan pikirannya.
Trill selalu menarik bagi Odette, terutama saat ia masih muda. Dulu, ia menganggap cara nada itu memperpanjang momen indah sangat menawan. Mengingatnya kembali terasa seperti begitu naif.
Saat menutup penutup piano, Odette berbalik menghadap Bastian. Sehari setelah pelajaran menembak mereka, pria itu mengejutkannya dengan memberinya senapan yang ia gunakan untuk berlatih. Meskipun awalnya menolak, Bastian bersikeras. Baru kemudian Odette memahami alasan di balik desakannyaāia tahu Odette akan membutuhkannya.
Mungkin isyarat terakhir Bastian adalah untuk memberinya rasa aman, dan jika memang begitu, Odette sangat menghargainya. Ia berharap bisa mempertahankan perasaan itu dan memiliki akhir positif. Itu juga merupakan hadiah terakhir yang ingin ia berikan kepada pria yang telah memberinya lebih banyak kebaikan dan perhatian daripada siapa pun di dunia.
Odette tersenyum lembut saat menatap pria yang benar-benar tidak biasa namun tetap murah hati. "Hari sudah hampir berakhir. Mari kita kembali sekarang."
Surat itu tiba setelah tengah hari, tepat saat matahari menyinari Teluk Arden. Namun di dalam kamar tidur nyonya rumah, tirai tebal tertutup rapat, membuat ruangan gelap. Di ruang mirip gua yang remang-remang, di mana waktu seolah berhenti, Theodora Klauswitz bersantai di kursi, mengaduk-aduk gelasnya. Di tangan yang lain, ia memegang pipa yang setengah terbakar.
"Nyonya!" Susan berseru, menghela napas saat ia dengan mendesak memanggil majikannya. Theodora perlahan menoleh untuk melihat pelayannya, tetapi tatapannya yang tidak fokus menunjukkan bahwa ia sudah sangat mabuk.
Sejak terungkap bahwa Bastian Klauswitz telah mencabut hak suaminya untuk membangun jalur kereta api, pemandangan seperti ini terjadi setiap hari. Para pelayan merasa seperti berjalan di atas es tipis setiap hari.
"Nyonya, Duke Dyssen telah mengirimkan surat untuk Anda," Susan langsung ke intinya. Ia baru saja kedatangan kunjungan dari saudara perempuannya, yang merupakan perawat Duke, dan ingin memberitahu tentang kegiatan majikannya baru-baru ini. Susan berharap saudara perempuannya akan mengoceh tentang hal-hal sepele, tetapi kali ini berita itu signifikan karena datang dalam bentuk surat yang bisa terbukti berguna.
"Surat?" Theodora duduk tegak di kursi panjangnya dan dengan bersemangat meraih amplop. Ia dengan ceroboh merobeknya dan melemparkannya ke samping gelas anggur yang kosong.
Berdiri tidak sabar di sisi kursi, Susan mendengarkan suara gemerisik kertas dan berdoa agar setidaknya ada satu informasi berguna di dalamnya.
Theodora Klauswitz tidak senang melihat seseorang tampak tak berdaya seperti pecundang. Susan dengan sungguh-sungguh berharap teman tercintanya, yang juga majikan dan saudarinya, akan segera pulih dan bisa membuka tirai lebar-lebar.
Meskipun telah mengabdikan diri pada pria yang ia cintai dan keluarganya, Theodora merasa bahwa hasilnya menyedihkan dan sia-sia.
Menyingkirkan surat yang sedang dibacanya, Theodora memerintahkan, "Matikan musiknya."
Saat Susan bergegas ke sisi lain kamar tidur dan mematikan musik, Theodora bangkit dari tempat duduknya dan menarik tirai terbuka.
Sambil mengenakan kembali gaunnya yang setengah lepas, Theodora berjalan ke jendela, memegang surat yang ia ambil dari meja. Susan mengamatinya dengan tenang.
Saat Theodora membaca surat dari Duke Dyssen, keriputnya tampak semakin dalam. Wajahnya kini sangat serius, dan tidak ada sedikit pun tanda-tanda pemabuk tak berdaya.
Akhirnya, Theodora mengalihkan pandangan dari surat dan menatap tajam ke mansion yang terletak di seberang laut.
Saat menoleh ke belakang, Theodora tertawa terbahak-bahakātawa penuh kemenangan yang Susan hargai.
"Bisakah aku libur akhir pekan ini?"
Saat makan hampir selesai, Odette mengajukan pertanyaan berani.
Bastian mendongak, memegang cangkir tehnya dengan santai, sementara Odette duduk dengan elegan, menunggu jawabannya.
"Libur?" ulang Bastian.
"Ya. Jika aku tidak punya janji apa pun, aku ingin libur beberapa hari," jawab Odette.
Bastian bertanya, "Apa aku pernah menjanjikan liburan padamu?"
Mata Odette menyipit, menyadari makna di balik pertanyaan Bastian. "Tidak, tapi... kontrak kerja biasa seharusnya mencakup waktu libur."
Bastian tertawa kagum. "Itu benar, kalau saja aku menandatangani kontrak untuk mempekerjakan seorang pelayan." Ia memerhatikan bagaimana istrinya semakin terampil dalam peran sebagai pelayan setiap harinya. Kemampuan ini mungkin akan lebih berguna jika Odette menjadi seorang pengasuh profesional, bukan hanya seorang tutor.
Odette mengangguk pelan, tenggelam dalam pikirannya. "Aku sadar kontrak kita tidak seperti itu." Ia kemudian meminta maaf singkat, "Maaf jika permintaanku ini terlalu berani."
Setelah meminta maaf, Odette melanjutkan makannya dengan santai. Bastian bingung mengapa Odette mengajukan permintaan itu jika pada akhirnya ia tidak akan mempermasalahkannya.
Bastian mencoba mengingat petunjuk apa pun yang bisa memberinya penjelasan. Ia teringat suatu pagi yang berbeda dari biasanya.
Bastian bangun pada waktu biasa dan meninggalkan kamar tidur Odette. Ia menuju kamarnya untuk menyegarkan diri, bercukur, dan bersiap-siap untuk bekerja. Saat bersiap, ada ketukan di pintu. Itu Odette, yang ia juluki "peramal payah."
Seperti biasa, wanita itu melakukan ramalan telur yang memprediksi hari penuh kesuksesan dan tekad sekuat gunung. Bastian bertekad untuk menemukan emosi Odette yang sebenarnya.
Bastian melihat jam, dan tanpa penundaan, ia bertanya pada Odette, "Katakan padaku, Odette." Wanita itu mendongak terkejut saat sedang menghabiskan sisa telur dan kopinya.
Dengan nada penuh otoritas, Bastian bertanya, "Apa ada masalah?" Pertanyaannya menyelimuti cahaya pagi yang tenang.
Komentar