Bastian Chapter 64
- 15 Agu
- 7 menit membaca
Diperbarui: 19 Agu
~ Jangan Tutup Matamu ~
Suara nada terakhir yang beresonansi disambut dengan tepuk tangan meriah. Odette terkejut dan segera menoleh ke arah sumber suara. Bastian sedang bertepuk tangan sambil bersandar di pintu masuk ruangan.
"Bastian?" Secepat mungkin, Odette melompat berdiri dari depan piano. Bastian menghentikan tepuk tangannya dan berjalan perlahan melintasi solarium.
"Penampilan yang luar biasa, Nyonya, dan aku sungguh-sungguh," kata Bastian. Sambil berdiri dengan tangan terkunci di belakang punggungnya, ia menundukkan kepala dengan hormat. Berbeda dengan gerakan elegan itu, tatapan di matanya menunjukkan kelincahan menggoda.
"...Terima kasih," Odette, yang menyadari ia sedang digoda, membalas dengan sapaan yang sesuai. Senyum ramah layaknya istri yang menyambut suami juga terukir di wajahnya. "Pasti ada kesalahpahaman tentang berita yang disampaikan. Kudengar kau tidak akan bisa pulang cepat."
"Pekerjaan selesai jauh lebih cepat dari perkiraan," kata Bastian dengan nada datar. Tatapannya segera kembali pada Odette setelah melewati piano.
"Ah.... Baiklah kalau begitu." Odette secara alami berbalik, menyembunyikan lembaran musik yang tergeletak di atas dudukan.
Itu buku latihan untuk meningkatkan teknik bermain.
Odette berhasil menghafal seluruh buku itu saat masih di bawah asuhan ibunya, tetapi karena sudah lama tidak bermain, tangannya menjadi kaku. Sekarang, ia kesulitan menguasai materi tingkat menengah, terutama dalam latihan terakhir yang dipuji Bastian, di mana ia membuat banyak kesalahan. Terlepas betapa buruk selera musik Bastian, ia bukanlah seseorang yang bisa dengan tulus menghargai penampilan seperti itu. Ia seorang pria terhormat yang selalu sopan, bahkan ketika sedang bersikap tidak peduli.
"Maafkan ketidaksopananku karena tidak menyambutmu. Aku tidak menyadari kehadiranmu. Ke depannya, tolong beritahu aku terlebih dahulu," Odette berkata dengan nada meminta maaf. Bastian hanya tersenyum ramah dan dengan anggun menerima permintaan maafnya.
Bastian menatap wajah Odette, dan seringai tipis terbentuk di sudut bibirnya. "Memberitahu dirimu?" Responsnya menunjukkan keengganan untuk menuruti. Namun, senyum Odette tetap dingin dan tanpa ekspresi, seperti tembok yang tidak goyah.
Bastian akhirnya menyadari bahwa Odette tidak benar-benar membuka diri padanya, tetapi hanya mengubah cara mengekspresikan kehati-hatian dan keengganannya. Meskipun ia mendedikasikan diri pada tugas-tugasnya sebagai istri, Odette tetaplah orang asing yang sopan namun menjaga jarak. Bastian menerima fakta ini tanpa ragu-ragu dan menarik kesimpulan yang lebih pasti.
Dengan perasaan takjub, Bastian menyadari bahwa Odette adalah wanita yang bisa menunjukkan kasih sayang tanpa benar-benar memiliki hati. Pengetahuan ini membuatnya mengerti bahwa tidak ada alasan logis baginya untuk mencoba memenangkan Odette secara emosional.
Meskipun menyadari hal ini, Bastian masih merasakan ketertarikan kuat padanya, yang ia akui dengan rasa rindu. Saat menghadapi keinginan yang tersisa setelah kebingungan menghilang, Bastian berharap Odette akan tetap sama seperti kemarin.
Bastian merindukan Odette untuk tetap di sisinya seperti kemarin, ketika hubungan mereka dipenuhi dengan kebohongan manis dan segalanya terasa sempurna. Ia berharap masa kini sama seperti sebelumnya.
Saat perlahan memiringkan kepalanya untuk menatap Odette, ia merasa sedikit malu. Namun, Odette tidak memalingkan muka, mata biru kehijauan memesona menatapnya, tanpa ikatan emosional apa pun. Namun, Bastian menemukan tatapannya cukup indah, walaupun tanpa emosi.
"Ayo pergi, Odette," Bastian menegakkan lehernya dan memerintahkan Odette untuk bersiap-siap. Namun, ketika melihat gaun yang ia kenakan, yang dihiasi renda dan rumbai mewah, ia menyipitkan matanya dan berkata, "Kurasa pakaian itu akan mempersulit."
"Ada apa?" tanya Odette.
Tanpa membuang waktu untuk menjelaskan, Bastian menuntut tanpa ragu, "Ganti dengan pakaian yang nyaman. Pakaian berkuda saja sudah cukup."
Bastian merasakan lonjakan kegembiraan saat menyadari bahwa ia memiliki kendali penuh atas pernikahan, terlepas dari perasaan atau pikiran Odette. Ia menikmati kekuasaan yang datang dengan pengetahuan itu, dan tiba-tiba hubungan mereka terasa ringan dan terstruktur. Pikiran bahwa ia memegang kendali penuh membuatnya merasa hidup dan bersemangat. Semuanya berjalan sesuai dengan seharusnya.
Secara aneh, Bastian merasa tenang karena Odette bersikap acuh tak acuh. Jika Bastian tidak bisa merebut hatinya, ia juga tidak akan kehilangan Odettee. Baginya, Odette hanyalah sosok dalam sebuah kontrak. Hidup seperti inilah yang sudah biasa ia jalaniāsemuanya diukur dan diperhitungkan.
Semakin sederhana permintaan seseorang, semakin lancar hubungan berjalan. Jika ia mampu memenuhi permintaan itu dan ada timbal balik yang bisa ia dapatkan, maka ia hanya perlu melakukannya. Dengan melihat setiap hari melalui perhitungan yang jelas dan sederhana, pada akhirnya ia akan menghadapi hasil yang dibawa oleh waktu.
"Aku yakin kau tidak berencana membawa anjing itu," kata Bastian, tatapannya setengah menoleh. Namun, perhatiannya teralih pada kaki Odette saat anjing itu mendekat dan menatapnya dengan berani, sama seperti pemiliknya.
"Namanya Margrethe," Odette memperkenalkan anjing yang ia pungut seolah-olah anjing itu adalah seorang wanita yang baru debut di masyarakat.
Bastian tidak bisa menahan tawa saat mendengar nama anjing yang megah. Meskipun penampilan anjing itu telah membaik dari saat pertama kali ditemukan, potongan rambut yang tidak rata memberinya tampilan acak-acakan. Dan yang paling parah, pita renda di lehernya membuat anjing itu tampak semakin konyol.
"Kau bisa memanggilnya Meg," usul Odette, yang memiliki tempat lembut di hatinya untuk anak anjing.
"Odette, tolong singkirkan anjing itu," itulah satu-satunya tanggapan yang bisa Bastian berikan.
Saat ia berbalik, anjing itu mulai menggonggong di belakangnya.
Dalam sekejap, lapangan tembak didirikan di perbatasan taman dan pantai, dengan tumpukan jerami berfungsi sebagai target.
Saat Odette menatapnya takjub, pelayan memindahkan target ke tempat yang ditentukan Bastian, lalu mengeluarkan berbagai macam senjata apiāpistol, senapan, dan senapan laras panjangādalam berbagai bentuk dan ukuran, memenuhi meja besar di luar ruangan.
"Tuan, apakah Anda juga membutuhkan senjata yang ada di gudang?" Ketika tampaknya tidak ada lagi ruang yang tersedia, Lovis mengejutkan semua orang dengan mengajukan pertanyaan yang tidak terduga.
"Kurasa ini semua sudah cukup. Aku menghargai semua kerja keras kalian," jawab Bastian. Setelah menolak tawaran bantuan dari para pelayan, ia berjalan ke meja dan memeriksa senjata yang dipajang di sana. Bahkan pakaian kasualnya, celana pendek tenis dan sweter tenis, tidak cukup untuk meringankan sikapnya yang tegas.
"Apa kau pernah mencoba menembak sebelumnya?" tanya Bastian dengan tenang, meletakkan senapan yang ia periksa. Matanya masih berkedip-kedip di atas laras senapan yang mengkilap.
"Tidak, kurasa aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk menggunakan senjata di masa depan," Odette menanggapi dengan penolakan yang bijaksana.
Mengambil dua senapan kecil, Bastian berdiri dan tersenyum sedih. "Apa? Kurasa kau salah."
"Mengapa aku harus menembak?"
"Ini cuaca yang sempurna untuk menembak. Kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan lain seperti ini dalam waktu dekat," katanya. Ia lalu memberi isyarat agar Odette mendekat, memegang senapan di kedua tangan dan memiringkan dagunya.
Odette harus mengulangi mantra yang menenangkan untuk dirinya beberapa kali sebelum bisa menahan emosi panas yang naik ke ujung tenggorokannya. Bastian selalu beropini, tetapi hari ini ia sudah terlalu jauh. Odette bahkan tidak bisa menebak apa niatnya, dan memutuskan untuk tetap waspada dan menghindari bentrokan yang tidak perlu. "Mari kita hindari satu sama lain," gumamnya pada dirinya sendiri.
Odette dengan enggan mematuhi permintaan Bastian, meskipun merasa tidak masuk akal. Namun, ia tahu bahwa ia perlu menyelesaikan transaksi ini jika ingin menerima kehidupan baru yang dijanjikan Bastian padanya. Saat ia mendekat, Bastian mengukur tingginya dengan panjang laras dan memilih senapan dengan gagang kayu kenari yang dihiasi dengan ukiran rumit dari emas.
"Ini mungkin sudah ketinggalan zaman, tapi akan ideal untuk latihan. Dengarkan," kata Bastian. Setelah dengan cekatan memuat pelurunya, ia berbalik dan menghadapi Odette. Ia menyerahkan revolver yang ia pegang. "Apa ini berat?"
"Sedikit berat."
"Bagus," jawab Bastian. Setelah menerima anggukan, ia berdiri di samping Odette sambil memegang pistol.
Bastian menjelaskan anatomi senjata, menamai setiap komponen dan menjelaskan langkah-langkah menembak. Ia tidak menunjukkan sedikit pun rasa frustrasi bahkan ketika Odette, yang tidak mengerti, mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali. Suara Bastian, yang dengan sabar mengajarinya, setenang laut yang tidak berombak hari ini.
"Perhatikan baik-baik," Bastian memberi isyarat kepada Odette untuk memperhatikan. "Meskipun senjata mungkin tidak menjamin perlindungan dalam semua situasi, tapi masih pilihan yang lebih andal daripada pisau saku." Ia kemudian mengambil pistol dan memosisikan dirinya di depan target.
Tatapan Odette yang lesu tiba-tiba melebar. "Mungkinkah... ini semua karena itu?" Ingatan tentang malam hujan ketika mengubur induk anjing yang mati dan kegembiraan Bastian saat melihat tas dan pisau saku yang jatuh mulai masuk akal, menyatu seperti teka-teki.
"Kau ingat?" tanya Odette kembali dengan tidak percaya. Bastian menatap target lagi sambil sedikit mengerutkan alisnya tetapi tetap diam.
Kenapa?
Keheningan di mata Odette seketika pecah, berganti menjadi tatapan gemetar.
Ia baru memiliki pisau itu saat mulai berpindah-pindah di kota-kota pinggiran untuk mencari properti sewaan murah. Komunitas di pinggiran memiliki keamanan yang lemah. Odette masih anak-anak, tetapi memiliki pemahaman makna di balik lelucon kejam dan tatapan mata dari anak laki-laki nakal. Dalam skenario terburuk, bahaya seperti apa yang akan ia hadapi di masa depan?
Hari ketika Odette menemukan pisau saku yang telah disimpan di laci adalah hari yang sama ketika menyadari bahwa ayahnya yang tidak beruntung, yang minum setiap hari, tidak akan pernah bisa melindungi dirinya atau saudara perempuannya, Tira. Pisau itu lebih seperti jimat yang menyimpan kemauan kuat, bukan senjata yang bisa digunakan di dunia nyata.
Pada saat yang tepat ketika ia mulai sedikit frustrasi tentang fakta bahwa satu-satunya orang yang menyadarinya adalah pria itu, Bastian membidik senapannya. Postur yang seimbang, cara pistol dipegang, dan bahkan cara tatapannya diarahkan, semuanya merupakan aspek penting. Persis seperti yang ia jelaskan.
Saat menyadari bahwa pria itu adalah seorang prajurit cakap, suara tembakan terdengar. Odette berteriak kecil tanpa sadar dan melangkah mundur darinya.
DOR!
Peluru Bastian menembus tepat di tengah target.
Bastian mendekat dengan senyum ringan, mengulurkan senapannya, "Ambillah. Sekarang giliranmu."
"Kau menembak dengan sangat baik," Odette, merasa sedikit malu, dengan canggung memujinya.
Bastian tersenyum lagi dan melanjutkan untuk mengoreksi postur Odette saat menerima senapan, "Lebarkan kakimu sedikit lagi. Jaga punggungmu tetap lurus dan pastikan bahumu diturunkan."
"Seperti ini?" Odette mencoba menyesuaikan postur tubuhnya.
"Tidak, bukan seperti itu, Odette," Namun, Bastian tidak puas dan menghela napas lembut saat mengamati postur Odette yang canggung, menyerupai boneka prajurit rusak.
"Takut?"
"Sama sekali tidak," Odette menjawab dengan percaya diri, tetapi tubuhnya yang kaku dan ujung jarinya yang gemetar mengkhianati emosi sejatinya, membuatnya jelas bahwa ia tidak terlalu pandai berbohong.
Menyadari bahwa memberikan lebih banyak saran tidak ada gunanya, Bastian berjalan ke arahnya dari belakang. Saat ia menekan dadanya ke punggung Odette, lengan dan kaki mereka sejajar dalam satu garis lurus. Bersama-sama, mereka membentuk dua bayangan tumpang tindih dengan ukuran berbeda, memegang senapan bersamaan.
"Lihat ke depan," Bastian memberikan perintah tenang kepada Odette, yang terus melihat ke belakang. Ia kemudian mengangkat dagunya, tangannya melingkari tangan Odette yang dingin yang memegang laras senapan.
"Tarik napas perlahan, dan sekarang buang," Bastian memperlambat napasnya dan menyarankan kecepatan yang sesuai. Akhirnya, ia menyinkronkan napasnya, dan ketegangan Odette telah mereda secara signifikan.
Bastian mengarahkan senapan dan membidiknya ke target. "Apa kau siap?"
"Mungkin," Suaranya tidak lagi gemetar saat ia menjawab. "....Ngomong-ngomong, Bastian." Setelah persiapan selesai, Odette memanggil namanya dengan mendesak. "Apakah ada hal lain yang perlu kuketahui?"
Bastian memperhatikan tangan Odette yang sedikit tidak berbentuk dan memperbaikinya. Ia kemudian menatap target di bawah sinar matahari dengan mata menyipit. "Baiklah, jangan tutup matamu."
Jari-jari mereka, yang memegang pelatuk bersama-sama, dipenuhi dengan kekuatan.
"Sempurna! Tepat sekali!"
DOR!
Saat mengikuti saran terakhir, suara tembakan bergema di udara, menandai tembakan pertama dalam hidup Odette.
Komentar