Bastian Chapter 10
- Crystal Zee
- May 20
- 6 min read
Updated: 2 days ago
~Dalih untuk Bertahan~
"Harus saya akui, kau cukup cerdik. Menggunakan penampilan menawan untuk memikat orang lain." Countess Trier mengerutkan kening saat ia dengan mengejek berbicara pada Odette.
Odette berdiri kaku, wajahnya tanpa ekspresi bagai patung. Satin biru gaunnya dan kilau dingin perhiasan berliannya menonjol kuat di antara kulit wajahnya yang pucat. Penampilannya yang seperti mayat memberi kesan ia lebih pantas berada di pemakaman daripada di pernikahan, namun ketenangan dan keanggunannya mengungkapkan bahwa ia bukan orang biasa yang mencuri pakaian dan permata untuk pergi ke pesta dansa.
Countess Trier berdiri tegak, mengamati aula perjamuan megah, dan membisikkan pengingat tegas kepada Odette. "Ingat, masa depan keluarga Dyssen bergantung pada keberhasilan tugas ini."
Kenangan hari-hari ketika ia menggunakan metode yang kurang ideal untuk membawa Odette ke dalam keluarga membanjiri benaknya saat ia menatap Aula Marmer. Ia mengakui bahwa kekeraskepalaan dan harga diri Odette berasal dari darah kekaisaran yang mengalir dalam nadinya.
"Tolong tepati janji Anda," kata Odette, berhenti sejenak untuk berbalik dan menatap Countess Trier. Ia berani, tidak sombong, matanya adalah lambang ketulusan dan keputusasaan.
Uang pensiun kecil yang pernah dijanjikan kepada Odette kini tampak tak berarti, namun Countess Trier tak menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Odette memberitahunya bahwa ia tak akan lagi menemui Bastian Klauswitz karena pria itu tak berniat menerima lamaran pernikahan dan kehendaknya tak berubah.
Bukan berarti ia tak bisa memahami emosi Bastian.
Dihina dan dibawa ke lingkungan asing dalam semalam tak sesederhana itu. Aman untuk berasumsi bahwa Bastian memiliki sedikit peluang sukses jika ia tak bisa merebut hati masyarakat dengan menampilkan semua sisi dirinya. Kaisar, bagaimanapun, lebih menyukai cara ini.
Odette harus memerankan istri Bastian Klauswitz di hadapan semua orang, bahkan jika ia sepenuhnya dimanfaatkan dan kemudian ditinggalkan.
Countess Trier dengan gembira menyetujui. "Baiklah. Aku akan melakukannya."
Saat Odette menatap Countess Trier, hatinya dipenuhi berbagai emosi. Pikiran tentang Kaisar yang kejam namun tidak tercela adalah sesuatu yang tak pernah ia pertimbangkan sebelumnya. Namun, kata-kata Countess menawarkan secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, lamaran pernikahan ini bisa mengarah pada sesuatu yang lebih baik. Ia merasa bersyukur kepada Countess atas kata-kata penghiburan dan jaminannya.
Odette duduk di depan Countess Trier dengan mata terpaku pada cakrawala. Ia sadar uang pensiunnya tak akan hilang meskipun pernikahan ini tak berhasil. Itu saja yang ia inginkan. Ia menyatakan dengan suara tegas bahwa ia akan melaksanakan kewajibannya jika Countess bisa membujuk Kaisar untuk memberinya jawaban pasti.
Countess mendengarkan dengan saksama, suaranya mengandung sedikit pemahaman. "Meskipun Kaisar adalah individu yang keras, ia tidak tanpa belas kasihan. Ia tak akan memperlakukanmu seperti orang luar jika lamaran pernikahan ini dapat menjamin keamanan dan kebahagiaan Putri Isabelle. Mereka mungkin cukup baik untuk menaikkan uang pensiunmu meskipun kecil kemungkinannya. Dan siapa tahu, jika keberuntungan berpihak padamu, kau mungkin bisa mendapatkan lebih banyak."
Suara Countess melembut saat ia berbicara; pemandangan anak dari putri yang ditinggalkan yang dijual dengan harga begitu rendah membuat hatinya hancur. Meskipun ia menggunakan wewenang pensiun sebagai senjata, ia sama sekali tidak senang dengan penderitaan Odette.
Odette harus berani dan menjalankan tugas yang diberikan kepadanya, meskipun untuk kesempatan kecil demi kehidupan yang lebih baik. Dan, ia menarik napas dalam dan mengangguk, "Terima kasih, Countess." Ia tahu ia harus kuat dan penuh harapan untuk masa depannya, dan untuk masa depan keluarga Dyssen.
Odette mengungkapkan rasa terima kasihnya dalam catatan singkat sebelum kembali menghadapi lingkungan aneh di hadapannya.
Fresko indah dan lampu gantung kristal mengelilingi langit-langit, dan taman yang sangat luas bisa dilihat melalui jendela-jendela yang terbuka lebar. Semuanya persis seperti yang dikatakan ibunya. Seperti dongeng yang menjelma menjadi kenyataan.
Odette teringat kenangan ibunya, yang awalnya tampak sangat gembira saat menceritakan tentang Istana Kekaisaran namun kemudian menangis, memberinya perasaan aneh.
Saat taman berkobar dengan bunga-bunga cerah, Odette tak mungkin tahu duka dan pengorbanan yang menanti ibunya di malam pesta dansa. Cinta Helene adalah cinta yang tragis, dipicu oleh perasaan tak berbalas dan kerinduan akan pemahaman. Meskipun ia mengidolakan ibunya, Odette berjuang memahami pilihan ibunya dan pengkhianatan keluarga serta negara yang tersirat. Namun, saat ia menghadapi konsekuensi tindakan ibunya, Odette tahu cinta sejati selalu datang dengan harga mahal.
Ibunya seorang pemimpi, mengejar ilusi cinta dan masa lalu yang tak pernah bisa didapatkan kembali. Bagai penginapan di padang pasir, ia terpesona oleh fatamorgana dan menjalani hidup yang dilanda dahaga tak terpuaskan. Namun Odette tahu nilai kehidupan, dan ia tahu pentingnya uang sebagai pondasinya. Ia tak bersedia mengorbankan kehormatan dan harga dirinya demi kekayaan, namun ia juga tahu kehormatan dan harga diri tak bisa didahulukan dari kelangsungan hidup. Dan, dengan hati berat, Odette menutup mata pada kenangan tak bermakna dan membukanya lagi, tekadnya sepenuhnya teguh.
Uang pensiun menjadi taruhan dalam pernikahan ini, dan Odette sangat membutuhkan dana tersebut. Dan, ia melangkah maju di jalan yang telah ia pilih dengan enggan, matanya bertemu dengan pria itu saat ia melewati lambang kekaisaran yang menghiasi aula. Sebuah keputusan yang dibuat karena kebutuhan, namun Odette mempertahankan martabat dan kehormatannya saat ia bergerak maju.
Melodi malam musim semi mengalir bagai simfoni menenangkan, menerangi kegelapan dengan pesta cahaya. Aroma manis bunga musim semi terbawa oleh angin yang berbisik melalui taman, menciptakan suasana mempesona. Malam itu pesta dansa, persis seperti cerita yang ibunya tuturkan, namun Odette tahu ceritanya hanya fatamorgana semalam, dan ia tak percaya pada ilusi.
Bastian berjalan melintasi aula besar dan berhenti agak jauh. Sikapnya pada pendamping Odette sangat sopan. Odette menunggu dengan anggun untuk giliran selanjutnya. Seperti yang diharapkan, Countess Trier menyerahkannya kepada Bastian, yang mendekatinya tanpa ragu dan menawarkan tangannya.
"Mari, Nona Odette," katanya, suaranya memerintah dan percaya diri, mengalahkan keramaian di sekitar mereka. Odette, mengangkat matanya yang sedikit menunduk, menyampaikan izinnya dengan menawarkan tangan.
Saat Bastian menggenggam tangannya, pintu aula perjamuan besar terbuka lebar, menampakkan singgasana Kaisar.
"Tenanglah ."
Valerie menghela napas panjang, suaranya berupa bisikan lembut. Isabelle, gelasnya tergenggam dalam kekecewaan, perlahan mengangkat kepala untuk bertemu tatapan kakaknya. "Aku tidak butuh nasihatmu," kata Isabelle, suaranya diwarnai frustrasi.
"Aku mengerti, tapi sampai kapan kauu akan mencoreng kehormatan keluarga kekaisaran demi pria yang tak tertarik padamu?" tanya Valerie, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Dan siapa kau beraninya menceramahiku? Kau lah yang mengejar Duke Herhardt belum lama ini," balas Isabelle.
"Ia Herhardt, bangsawan terbesar di kekaisaran. Kau tak bisa membandingkannya dengan cucu pedagang barang antik rendahan," kata Valerie, suaranya tegas.
"Jangan bicara tentang Bastian seperti itu!" seru Isabelle, suaranya meninggi penuh gairah. Para tamu di teras, terkejut oleh keributan, semua mengalihkan perhatian ke dua putri.
"Tenanglah!" kata Valerie, suaranya tegas namun lembut. "Apa kau sudah melupakan permintaan ibu kita agar kita menunjukkan rasa tanggung jawab yang layak bagi putri kekaisaran?" Valerie melihat sekeliling, pipinya memerah karena malu atas perhatian yang mereka dapatkan. Namun Isabelle hanya diliputi cinta tak berbalasnya, berjuang menenangkan emosinya.
"Ada momen indah yang terjadi di antara mereka berdua, sementara adikku menangis di sudut," Valerie menghela napas lagi, suaranya penuh jijik saat ia menunjuk dengan bangga melalui jendela teras.
Wajah Isabelle meringis kesakitan saat ia mengikuti pandangan kakaknya. Kapten Klauswitz dan putri Duke Dyssen, sosok mereka yang tinggi dan mencolok menonjol di keramaian saat mereka tertawa dan bercakap-cakap akrab. Sulit untuk menyangkal bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna, setidaknya dari segi penampilan.
"Bastian hanya mengikuti perintah Kaisar," gumam Isabelle, mencoba menyangkal kenyataan yang ia saksikan di hadapannya saat ia menghabiskan minuman. Namun saat ia melihat, hal yang tak terbayangkan terjadi. Putri Duke Dyssen membisikkan sesuatu dan Bastian memiringkan kepala serta menundukkan pandungan, mata dan senyum mereka dipenuhi kehangatan yang menggambarkan sesuatu yang lebih dalam, bagai puisi cinta.
"Faktanya tetap sama, terlepas dari apa yang kau percaya." Valerie mengejek Isabelle dengan kejam. "Kapten Klauswitz jatuh cinta pada Nona Dyssen. Jelas, tak ada pria terhormat yang akan menolak wanita secantik dirinya."
"Kau tak tahu apa-apa. Bastian tidak naif," balas Isabelle, matanya terbuka penuh tekad saat ia menggelengkan kepala dengan tegas.
Enam tahun telah berlalu. Ia hanya fokus pada Bastian sejak hari ia merasakan cinta pada pandangan pertama. Bagaimana mungkin ia tak menyadari pria yang telah ia cintai dengan setia selama bertahun-tahun bukanlah ilusi egois.
Isabelle sadar terlepas dari apapun yang ia dengar dari opini orang. Betapa setia dan terhormatnya Bastian Klauswitz.
Saat Isabelle duduk sendirian di teras, beban cinta tak berbalasnya menekan hati, sakit menusuk. Suara ia mengisi gelas dengan anggur adalah satu-satunya yang memecah keheningan malam musim semi yang menyedihkan.
Ia bertanya-tanya, seberapa dalam dan menyedihkan cinta yang tak bisa ia sembunyikan ini? Bagaimana mungkin pria yang ia cintai memilih mengorbankan pengabdiannya kepada kekaisaran demi seorang wanita dari kelas bawah? Ini tidak adil, namun pria setia yang bodoh itu tampaknya telah menerima perintah dengan senang hati.
Mungkin, dalam benak Bastian, ia bisa menggunakan wanita itu sebagai perisai untuk melindungi kehormatan sang putri. Rumor yang beredar di dunia sosial cukup untuk menutupi nama Isabelle dan menarik perhatian publik. Ia terisak, tahu bahwa tokoh utama musim sosial ini sudah diisi oleh seorang pahlawan berdarah rendah dan anak tri seorang putri yang ditinggalkan.
Namun apa arti kemuliaan yang kau bayar dengan pengorbananmu?
Pipi merah Isabelle basah saat air mata terus mengalir dan berpacu dalam aliran kesedihan. Melalui jendela yang terbuka, musik waltz indah kini terdengar. Bastian, memegang tangan wanita cantik itu. Mereka tamu yang berjalan menuju pusat aula makan secara berpasangan.
Isabelle menuangkan segelas anggur lagi, hatinya sakit dengan kesedihan yang dalam dan pahit. Air matanya mengalir bagai aliran sungai, mengaburkan pandangan dan membasahi tangannya, namun ia tak punya tenaga lagi untuk peduli hal-hal sepele.
Untuk pertama kalinya, ia memahami niat sejati ibunya dalam mengizinkannya menghadiri pesta dansa. Ibunya pasti berharap Isabelle akan terluka dengan cara yang paling menyakitkan, agar ia akhirnya melepaskan cintanya.
Isabelle mengangkat pandangannya, matanya berkaca-kaca, dan menatap sepupunya, yang telah memihak Bastian, pria yang seharusnya menjadi miliknya. Wanita itu, yang menjadi boneka keluarga kekaisaran demi uang, tenang dan percaya diri secara menjijikkan, dan yang paling membuat Isabelle kecewa, ia juga wanita yang paling cantik.
Saat waltz malam musim semi dimulai, Isabelle merasakan rasa malu membanjiri dirinya, kesedihan berubah menjadi tangisan pilu, malam hanya membawa rasa sakit yang tak terampuni.
Comments