Bastian Chapter 84
- 26 Agu
- 6 menit membaca
ā»Harapan Putus Asaā»
Napas Bastian semakin berat, intensitasnya meningkat seiring dengan kehangatan sentuhan Odette. Sensasi mereka yang meningkat dengan cepat mulai mengaburkan akal sehat. Pada akhirnya, Bastian menyerah pada kerinduannya. Ia membantu melepaskan rok Odette yang terasa menghalangi, dan kemudian menyentuh lembut blusnya. Ciuman Bastian yang penuh semangat membungkam suara Odette, bibirnya sekali lagi merasakan kelembutan bibir Odette.
Menyadari siapa, di mana, dan apa yang sedang terjadi, Bastian tertawa kecil. Rasanya seolah-olah kehidupan stabil yang telah ia bangun perlahan runtuh hanya karena wanita ini, memberinya perasaan menyerah yang sia-sia namun terasa aneh.
"Bastian!" Odette menunjukkan penolakan saat tangan Bastian bergerak menyentuh tubuhnya.
Perubahan sikap Odette membuat Bastian sedikit terkejut, namun ia tetap menurunkan kepalanya dan mencium lembut leher Odette. Odette-lah yang pertama kali mendekatinya, jadi berpura-pura tidak tertarik sekarang tidak akan mengubah apa pun.
Napas berat terdengar di tengah suara hujan yang tak henti-hentinya. Bastian mendekap Odette erat. Namun, semakin Odette mencoba menjauh, semakin erat Bastian menahannya dalam pelukannya.
Meskipun kesadaran Odette mulai memudar, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak melupakan tujuannya. Ia baru saja akan meraih saku jaket Bastian ketika pria itu mencium lembut bahunya.
"Ah!" Terkejut, Odette mengeluarkan suara tertahan dan segera menutup mulutnya. Namun, sebelum rasa intens yang kuat itu mereda, tangan Bastian dengan hangat menyentuh bahunya yang lain.
Diliputi rasa takut, Odette mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong bahu Bastian, memulai sebuah pergulatan. Baru ketika suara rintihannya perlahan berubah menjadi isakan kecil, Bastian akhirnya mengangkat kepala.
Bastian menundukkan pandangannya, kegelapan padangannya mencerminkan malam hujan di luar, saat ia mengamati Odette yang tampak berantakan dan kelelahan, sementara ia sendiri tetap tenang dan rapi. Meskipun wajahnya serius, bibirnya tampak sedikit merah dan berkilau.
Tatapannya yang diam mengikuti setiap gerakan Odette, diiringi oleh irama napasnya yang semakin berat. Odette bertanya-tanya apakah ini kesempatan terakhirnyaājika ia menolak sekarang, mungkin mereka masih bisa menghentikan apa yang terjadi.
Namun, bagaimana dengan kuncinya?
Diliputi kesedihan yang tak tertahankan, ia menatap saku jaket Bastian di mana kunci itu berada, masih di tangan Bastian. Jika ia memilih untuk menjauh dari Bastian, kesempatan ini tidak akan pernah datang lagi.
"Hanya sedikit lagi..."
Pada akhirnya, Odette merasa terpaksa melanjutkannya. Mereka berada di dalam kantor perusahaan, yang dulunya ditempati oleh Sandrine. Tentunya, Bastian tidak akan melakukan sesuatu yang tidak pantas pada wanita yang akan bercerai dengannya di tempat ini. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang akhirnya membuat Odette mengambil risiko.
Saat perlawanannya perlahan melemah, keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Odette berusaha untuk tetap diam di bawah tatapan Bastian, namun tubuhnya bergetar lembut dengan setiap napas yang ia ambil. Melihat hal ini, mata Bastian menjadi semakin keruh dengan campuran kekesalan dan keinginan yang melonjak dalam benaknya.
Pada akhirnya, kebingungan yang ditimbulkan oleh wanita di depannya terwujud sebagai tawa yang getir. Bastian merasa tidak nyaman, seolah-olah sedang diejek, namun ia tidak ingin berhenti. Bastian kini menyadari bahwa memang begitulah adanya, sejak saat ia bertemu Odette. Tidak, mungkin Bastian sudah mengetahuinya sejak awal.
Bastian menghela napas berat, mencampurkan tawanya dengan beberapa kata umpatan tertahan. Saat Odette akhirnya menyadari kata-kata kasarnya, Bastian sudah menciumnya dengan semangat yang tak terkendali.
Dengan intensitas yang kuat, ia mencium Odette sambil memegang erat wajahnya. Di tengah situasi yang sulit ini, Odette, di sisi lain, dengan panik mencari kunci.
"Tolong!" ia memohon dengan putus asa. Jantungnya berdebar kencang, dan akhirnya, ia berhasil meraih saku jaket Bastian. Bastian, yang beberapa saat sebelumnya menciumi telinganya, kini menelusuri leher Odette.
Takut Bastian akan menyadari tindakannya, Odette melindungi bagian belakang kepala Bastian dengan satu tangan sementara tangan yang lain mencari jauh ke dalam sakunya. Tepat saat frustrasi mulai menguasai pencariannya, jari-jarinya akhirnya menyentuh benda logam yang dingin.
Bereaksi dengan cepat, ia secara naluriah merebutnya, membuat Bastian melepaskan jaketnya, yang segera diikuti oleh dasinya. Odette mencoba mendorongnya menjauh, tangannya yang lain menggenggam erat kunci yang hampir ia abaikan.
"Tolong, tolong...." Ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bastian dengan memutar tubuhnya, tetapi sebelum bisa bangkit dari sofa, ia ditangkap dan ditarik kembali ke bawah dengan paksa.
'Kuncinya!'
Dalam kesadaran yang tiba-tiba, ia dengan tergesa-gesa menyembunyikan kunci emas, menggenggamnya erat-erat di dalam tinjunya yang terkepal. Sementara itu, Bastian mendekat padanya. Bastian tampak sangat fokus. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Odette tidak punya kesempatan untuk menolak, menyebabkan cengkeramannya pada kunci mengendur. Pada akhirnya, ia tidak punya pilihan selain memalingkan kepalanya, mencari tempat persembunyian yang aman untuk kunci. Saat itulah ia akhirnya melihat celah di antara sandaran dan bantal, tepat saat ia merasakan napas Bastian di dekatnya.
Ia mengamati pemandangan yang membingungkan itu dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan. Pemandangan wajah Bastian yang dekat dengannya membuatnya merasa malu. Tidak yakin dengan niat Bastian yang sebenarnya, ia merasa linglung, tidak dapat sepenuhnya memahami situasi itu.
"A-apa?" ia tergagap. Terkejut, Odette mulai meronta, fokus awalnya untuk melindungi kunci sedikit teralihkan. Namun, Bastian dengan mudah menahannya.
Napas mereka berdua semakin cepat. Dihadapkan pada situasi yang memalukan ini, Odette memutuskan untuk memejamkan matanya. Saat napasnya semakin cepat, ia tiba-tiba teringat kunci yang telah ia sembunyikan.
Dengan susah payah, Odette memaksa matanya terbuka, tangannya gemetar saat ia mengulurkannya, memandu kunci ke celah tersembunyi yang telah ditemukan sebelumnya. Bastian tetap fokus, tidak mengangkat kepalanya sampai Odette benar-benar menyembunyikannya.
"Syukurlah..." Desahan lega keluar dari bibir Odette.
Perasaan campur aduk antara kelegaan dan ketidaknyamanan memenuhi dirinya. Saat emosi-emosi yang bertentangan ini bercampur, Bastian akhirnya mengangkat kepalanya, bibirnya tampak sedikit basah. Tanpa ragu, ia mendekap Odette erat.
"Bastian..." Suaranya bergetar saat memanggil namanya, berpegang pada harapan terakhir. Mata Bastian yang menyipit bertemu dengan matanya saat Odette mengangkat tangan gemetar untuk menutupi wajahnya.
Ia mengerti urgensi untuk berbicara, namun bibirnya tetap kelu. Yang bisa Odette lakukan hanyalah menatapnya dengan pandangan takut sekaligus memikat, dipenuhi dengan rasa tidak berdaya, seolah memohon padanya.
Bastian, ekspresinya sulit dibaca, tiba-tiba memegang rambut Odette dengan kuat. Tatapannya yang dingin, penuh intensitas, adalah sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, membuatnya merasa sangat terkejut.
Dengan sentuhan lembut, Bastian menyeka air matanya, suaranya pelan dan lembut. Ā Odette, diam-diam mengamati tindakannya, tanpa sadar mengeluarkan suara kecil. Ia mencoba menjauh, tetapi tidak cukup kuat untuk melawan Bastian. Bastian, sebaliknya, tertawa kecil dan memeluknya. Baru setelah membaringkannya kembali, Odette akhirnya mengerti maksud Bastian.
Bastian mendekat padanya, tangannya dengan cepat menyentuh tubuhnya. Napas Bastian semakin berat, tatapannya yang tak tergoyahkan tetap terpaku pada Odetteātatapan posesif yang membuatnya semakin malu.
Tidak tahan dengan situasi ini lebih lama lagi, Odette dengan cepat mengalihkan pandangannya. Namun, Bastian menolak untuk menyerah begitu saja. Sebuah tangan besar meraih dagu Odette, secara paksa mengarahkan kembali tatapannya.
Ketika mata mereka bertemu sekali lagi, senyum kemenangan Bastian munculāsenyum seorang pria yang tampak tidak merasa bersalah sama sekali.
Berbaring tak bergerak di sudut sofa, Odette tampak lelah. Bastian melihat sekilas dirinya melalui cermin saat mematikan air di wastafel. Ia mengeringkan tangannya dengan handuk, dengan teliti merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit berantakan. Setelah memastikan penampilannya rapi kembali, ia mendekati sofa dengan ketenangannya yang biasa.
Sebaliknya, napas Odette dangkal saat berbaring di sana, tanpa kekuatan. Bastian kemudian membersihkan tubuh Odette dengan handuk basah di tangannya, mengabaikan suara protes Odette yang terkejut. Sentuhannya lembut, tanpa menunjukkan sisa-sisa kejadian, sikapnya tenang dan datar saat dengan mudah mengatasi upaya lemah Odette untuk menolak.
"Hentikan. Aku mohon, tolong," Odette memohon, perlawanannya meningkat saat tangan Bastian bergerak di tubuhnya.
Mencoba bangkit, ia duduk di sudut sofa, memeluk dirinya sendiri. Menurut Bastian, sungguh aneh bagaimana Odette sekarang bersikap seperti orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi Bastian tidak mudah menyerah pada tindakan seperti itu.
"Tolong, beri aku waktu sendirian sebentar," pintanya, saat Bastian mengambil pakaiannya dari bawah sofa dan menyerahkan padanya. Pipinya, dan bahkan cuping telinganya, tampak memerah.
Sisi pemalu Odette sulit dipahami, namun Bastian dengan rela mengabulkan permintaannya. Meletakkan pakaiannya di sandaran tangan sofa, ia mengambil rokok dan korek api, lalu keluar dari kantor.
Saat ia bersiap untuk menutup pintu, Bastian melirik ke belakang. Odette, yang sedang memperhatikannya, mengalihkan pandangannya. Cara Odette segera meraih pakaiannya tampak menggemaskan, sisi kepribadiannya yang tidak pernah ia duga.
Dengan senyum di wajahnya, ia menutup pintu kantor dan berjalan menyusuri koridor panjang, mencapai ujung berlawanan di mana sebuah ruang istirahat menanti. Saat ia masuk, para staf yang sedang berbicara dan merokok dengan tergesa-gesa bangkit dari tempat duduk mereka untuk menyambutnya.
"...Jangan khawatir. Lanjutkan istirahat kalian," Bastian meyakinkan mereka, memecah keheningannya sebelum berjalan menuju kursi di dekat jendela.
Gerimis lembut membasahi jalanan di luar. Papan reklame yang diterangi, lampu-lampu yang berkilauan, dan lampu depan mobil yang lewat melukis malam hujan dengan warna-warna cerah. Ini malam biasa, namun membangkitkan kenangan akan kejadian di kantornya.
Komentar