Bastian Chapter 79
- 23 Agu
- 6 menit membaca
ā»Jika Kau Tak Beri Ketulusanā»
Mata Maria Gross melebar penuh kagum, seolah dalam sekejap, langit dan bumi telah membuka rahasia di hadapannya. Ia melirik Bastian muda di depannya, lalu menoleh ke arah dr. Kramer yang duduk di sampingnya, mendapati keterkejutan yang sama di wajah sang dokter.
Karena pekerjaannya, Bastian datang terlambat ke rumah. Ia disambut oleh ruangan yang sudah penuh dengan tamu. Di tangannya, ia memegang buket yang sangat indah. Namun, pesona buket itu segera memudar saat Maria terperangah melihat buket lain yang diam-diam telah Bastian siapkan untuk istrinya.
Sekilas, buket milik Odette terlihat lebih kecil dan sederhana dibandingkan milik Maria. Ini pilihan yang disengaja dari seorang keponakan yang penuh perhatian, yang ingin menjadikan bibinya bintang utama di hari itu. Namun, Maria langsung merasakan ketulusan sejati di dalam buket iris sederhana yang Bastian berikan kepada istrinya.
Seperti yang biasanya dilakukan pria, keponakannya itu memilih buket dari berbagai pilihan yang adaāsebuah kreasi yang sudah ditata apik dengan perpaduan bunga-bunga yang disukai banyak orang, sama seperti yang ia berikan pada Maria beberapa saat lalu.
Namun, buket iris yang ia berikan kepada istrinya tampak jelas dipilih dengan tangannya sendiri. Meskipun bukan bunga yang sangat langka, iris itu berbeda dari yang biasa. Maria yakin, tidak ada toko bunga yang waras yang akan menyertakan iris dalam pesanan bunga seorang pria kecuali diminta secara khusus.
Maria tak kuasa menahan tawa, merasa sulit untuk memercayai situasi ini. Sejak Bastian menyerahkan buket iris kepada istrinya, pandangannya tidak pernah lepas, terus terpaku pada setiap gerak-gerik sang istri.
Bahkan isyarat atau pandangan sekecil apa pun dari Odette mendapat perhatian penuh dari Bastian. Ia terlihat seperti remaja kasmaran yang sedang mengalami cinta pertama. Di sisi lain, Maria juga sama terkejutnya melihat Odette yang mampu mempertahankan sikapnya yang santun meskipun terus-menerus ditatap dengan intens.
"Aku tidak menyangka Bastian akan menjadi suami yang begitu menyedihkan," bisik dr. Kramer, dan Maria hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
"Santap malam sudah siap. Silakan menuju ruang makan."
Saat kepala pelayan datang, Bastian akhirnya mengalihkan pandangan dari istrinya dan mendekati Maria dengan tenang, siap untuk menemaninya.
"Izinkan saya menemani Anda, Nyonya Gross," katanya dengan senyum santai. Itu adalah wajah Bastian Klauswitz yang Maria kenal, menampilkan perpaduan tekad halus dan kenakalan jenaka, yang membuatnya terlihat semakin memikat.
'Mungkin itu hanya ilusi dari mataku yang sudah menua,' Maria meyakinkan dirinya sendiri, sambil menggenggam tangan keponakannya.
Jika Bastian masih tidak menyadarinya, lebih baik tetap begituāia memiliki wajah seorang pria yang sedang dimabuk cinta.
Santap malam itu benar-benar menyenangkan, dengan hidangan lezat dan minuman yang dibuat dengan teliti. Perpaduan harmonis antara percakapan dari hati ke hati dan tawa memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat.
Saat hidangan utama terakhir diangkat dari meja, Odette menarik napas lega. Pesta luar biasa ini telah disiapkan di tengah kekacauan, dan tanpa bantuan para pelayan terampil, ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan kuliner seperti itu.
Ia meminum air dingin untuk menyadarkan kembali kesadarannya yang terus memudar. Setelah bertemu ayahnya, ia merasa sulit untuk berpikir jernihābahkan sampai tidak bisa mengingat bagaimana ia kembali ke Arden. Peristiwa beberapa jam yang lalu terasa jauh, hampir seperti kenangan samar.
'Sadarlah, Odette.'
Odette mengulang mantra itu berkali-kali selama makan malam untuk menguatkan dirinya. Ia memaksakan diri menelan makanan yang terasa hambar, berharap bisa bertahan sedikit lebih lama dengan senyum ramah. Namun, saat hidangan penutup disajikan, percakapan yang terjadi menjebaknya dalam posisi yang sulit.
"Sayang sekali pasangan pengantin baru yang begitu serasi harus berpisah selama dua tahun. Kenapa tidak mempertimbangkan untuk menemani suamimu bertugas, Nyonya Klauswitz?" tanya dr. Kramer.
Odette butuh beberapa saat untuk memahami maksud pertanyaan itu. Ia menatap sekeliling dengan bingung, berharap seseorang akan menunjukkan reaksi terkejut juga. Namun, harapan itu tidak terwujud. Semua orang yang duduk di meja tampaknya sudah tahu tentang rencana Bastian, kecuali satu orangāistrinya, Odette Klauswitz.
"Tapi kau tetap tidak bisa tinggal bersama Bastian selama pelatihannya. Jadi tidak akan jauh berbeda dengan tinggal di sini," Maria Gross menatap Bastian dan melontarkan keberatan.
Odette berhasil memaksakan sebuah senyum. 'Jangan khawatir, aku akan berusaha keras untuk tidak menimbulkan kecurigaan,'Ā ia meyakinkan dirinya, mengingat janji yang telah ia buat pada Bastian.
"Aku rasa jauh lebih baik bagimu untuk tinggal di sini daripada hidup sendirian, menunggu suamimu di tempat yang tidak dikenal. Kepulauan Trosa bisa sangat sepi, itu akan menjadi tantangan untuk wanita muda sepertimu, bukankah begitu, Odette?"
Odette mengangguk patuh, "Ya, saya lebih suka tetap tinggal di Arden. Saya tidak ingin membebani suami saya, dan lagi pula, masih banyak pekerjaan di mansion yang membutuhkan perhatian saya."
"Pola pikirmu patut diacungi jempol, Odette. Memang akan sulit bagi nyonya rumah untuk pergi ketika fondasi rumah tangga yang baru belum ditetapkan,"
"Apa pendapatmu, Bastian?" dr. Kramer, yang tampaknya gigih, kembali melontarkan pertanyaan.
Odette melirik Bastian dengan sedikit ketegangan, wajahnya yang proporsional terlihat dalam bayangan lembut dari cahaya lilin yang elegan.
"Bastian?"
Dengan senyum, Bastian mengangkat gelasnya, menarik perhatian semua yang hadir. "Aku akan menghormati keinginan istriku," ia menyatakan, menyesap anggur untuk membasahi bibirnya. Bastian menatap Odette dengan tatapan tenang, mengingatkannya pada saat ia memberitahu Odette tentang perang.
"Terima kasih, Bastian," kata Odette, mengakhiri percakapan yang tegang itu.
Jika Odette tidak tulus, Bastian tidak akan terluka. Pengkhianatan dari istrinya yang curang tidak akan menodai hatinya. Odette senang bahwa niatnya tidak lebih dari itu.
Sekali lagi, Odette memilih untuk menghargai kenyataan ini, yang terbukti menjadi keputusan yang tepat.
Saat Molly memasuki kamar tidur, dengan hati-hati membawa vas iris, Odette mengawasi setiap gerakannya melalui cermin rias. Menyadari bahwa kepala pelayan, Dora, sedang sibuk menyisir rambutnya, Odette memastikan untuk berhati-hati dalam tindakannya, untuk menghindari kecurigaan.
Namun... ada sesuatu yang tidak beres.
Tepat saat kepala pelayan, Dora, meletakkan sisir, perilaku Molly menjadi aneh. Sambil menatap Odette melalui cermin, anak itu mengerutkan alisnya, seolah memberi isyarat.
Tanpa membuang waktu, Molly diam-diam menyelipkan catatan yang disembunyikan di lengan bajunya dan dengan cerdik meletakkannya di bawah vas. Setelah melihat sekilas Odette, Molly tersenyum cerah. Ekspresi itu membangkitkan rasa penyesalan dalam diri Odette, mengingatkannya pada masa lalu ketika ia mengira Molly dan Tira memiliki kesamaan.
"Semoga malam Anda menyenangkan, Nyonya," Dora menyelesaikan tugasnya dan mengucapkan selamat tinggal dengan sopan sebelum pergi bersama Molly. Saat langkah kaki mereka memudar, Odette bangkit dari tempat duduknya. Dengan tergesa-gesa, ia meraih vas itu dan menemukan catatan yang terlipat rapi di bawahnya.
Jantungnya berdebar, gelombang antisipasi mengalir dalam dirinya, saat ia berusaha menenangkan diri sebelum membuka catatan dengan tangan gemetar. Namun, suasana ketegangan itu hancur oleh gangguan suara langkah kaki yang tiba-tiba bergema di lorong, yang menghubungkan dua kamar tidur.
Odette dengan cepat menyembunyikan catatan itu di dalam saku gaunnya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, membuatnya tidak punya banyak kesempatan untuk mengubah posisinya. Ia dengan cemas mengalihkan fokusnya ke iris dalam vas. Dengan sentuhan lembut, Odette berpura-pura mengagumi kelopak bunga, bertindak seolah semuanya sangat normal.
"Odette," panggil Bastian, berhenti sejenak di pintu sebelum memasuki kamar tidur.
"Oh, bunga-bunga ini benar-benar indah," serunya dengan senyum hangat, dengan ringan membelai kelopaknya. Sementara itu, Bastian berdiri di samping istrinya, dengan santai melipat tangan, mengamati bunga itu.
"Aku tidak keberatan, Bastian. Aku mengerti dirimu," kata Odette tiba-tiba.
"Mengerti?"
Bastian tertawa, meskipun di dalam hatinya ia merasa tidak nyaman. Pengumuman tak terduga tentang kepergiannya yang akan segera terjadi membuat Bastian gelisah. Itu membuatnya bertanya-tanya apakah ia terlihat seperti menipu Odette?
Ia merenungkan kata-kata yang tepat untuk menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin muncul. Pikiran ini telah berputar-putar di benaknya sejak insiden yang disebabkan oleh dr. Kramer yang banyak bicara hingga saat ini.
Namun, Odette meyakinkannya bahwa ia mengerti. Pemahaman Odette memberinya rasa lega, karena tanggapannya selaras dengan harapannya. Namun, entah kenapa, perasaan tidak nyaman tetap ada di dalam dirinya melihat sikap Odette yang terlalu datar.
"Jika kau khawatir aku akan bersikeras ikut denganmu... Kau tidak perlu khawatir tentang itu, Bastian. Aku akan menunggu di sini jika itu yang kau inginkan," kata Odette.
Bastian, tidak dapat menemukan jawaban yang cocok, tetap diam.
"Tidak banyak hari yang tersisa untuk kita habiskan bersama. Aku tidak ingin merusak sisa waktu ini dengan hal-hal yang sudah terjadi," Odette bergumam pelan sambil terus bermain dengan kelopak bunga. "Jadi Bastian, aku baik-baik saja," ia tertawa, meskipun matanya mengkhianati kilauan air mata yang ia tahan. "Aku harap kau juga baik-baik saja."
'Ayo pergi bersama.'
Bastian mendapati dirinya berulang kali mengepalkan tangannya yang kosong untuk menahan beratnya kata-kata yang membanjiri dirinya.
"Bastian, kau pasti lelah. Tidurlah dulu."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku akan segera istirahat, setelah menghabiskan lebih banyak waktu mengagumi bunga-bunga ini," jawabnya, mengejutkannya. Bastian tak kuasa menahan tawa putus asa.
Seorang wanita yang menemukan kebahagiaan dalam keindahan sederhana dari beberapa bunga. Ia memiliki perasaan yang bertentangan tentangnya. Itu menyenangkan sekaligus menjengkelkan baginya pada saat yang sama.
Bastian diam-diam berbalik, menyembunyikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
Dengan setiap detik yang berlalu, kamar tidur semakin redup saat lampu padam, mengintensifkan cahaya yang terpancar dari perapian yang berderak.
Sambil mengucapkan selamat tinggal pada lampu samping tempat tidur, Bastian berbaring di tempat tidur. Odette tetap tidak bergerak untuk waktu yang lama, menunggu dengan sabar sampai Bastian menyerah pada tidur.
Memanfaatkan kesempatan itu, Odette dengan hati-hati membuka catatan yang tersembunyi, menyingkap rahasianya di dalam malam yang bagai jurang. Saat tatapannya jatuh pada kata-kata dari Theodora Klauswitz, rasa dingin menyusup ke dalam pikirannya, menyebabkan pikirannya membeku sesaat, meninggalkannya dalam keadaan bingung.
Tambang.
Menggenggam kata itu dalam benaknya, Odette melemparkan catatan yang kusut itu ke dalam api perapian yang rakus. Jawaban yang seharusnya ia berikan setelah bertemu ayahnya sudah diputuskan.
Komentar