Bastian Chapter 106
- 21 Sep
- 6 menit membaca
ā»Konspiratorā»
"Sebaiknya kau jaga martabatmu, Lady Laviere," kata Bastian, menjauhkan Sandrine sejauh satu kaki darinya. Suaranya sedingin es dan napasnya memburu.
Ia merapikan jubahnya, berusaha menyembunyikan gairah yang terus ingin mengintip dari lipatan jubahnya. Sandrine mencoba mendekatinya sekali lagi, tetapi Bastian dengan tegas menjaga jarak. Tatapannya sangat teguh.
"Bastian?" kata Sandrine, menolak untuk menerima penolakan darinya. Tonjolan itu adalah bukti nyata bahwa Bastian menginginkannya dan Sandrine juga menginginkannya. Itu bukan ilusi. Meskipun sikap Bastian menyakitkan, ada kehangatan yang tersisa di antara mereka.
"Aku tidak menginginkan ini," kata Bastian, "yang kuinginkan adalah istri yang tahu bagaimana bertindak sebagai wanita bangsawan, bukan wanita malam. Jika kau ingin terus bertingkah seperti pelacur, aku yakin pelukis muda milikmu akan lebih menerima dirimu."
Sandrine memucat, lalu dengan cepat berubah menjadi merah padam saat seluruh tubuhnya memerah karena malu. Bastian hampir tidak bergeming saat menatapnya dengan mata dingin dan menyakiti Sandrine dengan kata-katanya.
"Aku sangat senang kau tertarik padaku, Bastian, tapi menghakimi urusan cintaku saat kau sendiri melakukannya, itu sedikit munafik, bukan?"
Sandrine mencoba menenangkan diri, tetapi harga dirinya terluka dan ia tidak akan membiarkannya begitu saja. Ia tidak pernah berbohong kepada Bastian tentang kekasihnya, menjanjikan dirinya sepenuhnya kepadanya hanya jika Bastian menjanjikan seluruh dirinya pada Sandrine. Keterbukaan mereka satu sama lain adalah yang mendorongnya untuk mencintai Bastian sejak awal.
"Aku tidak mencoba mengkritik, hanya menawarkan beberapa nasihat. Aku tidak bermaksud jahat padamu," kata Bastian, menyeka tetesan air dari wajahnya.
Sandrine menatapnya tertegun sejenak, sebelum tertawa. "Jangan bertingkah mulia seolah-olah kau jiwa yang paling murni. Kau yang bertingkah begitu vulgar."
"Aku hanya mengatakan, aku ingin istri yang bersikap sebagai bangsawan."
"Maaf?"
"Yah, bukan hal yang baik jika kedua pasangan dalam pernikahan vulgar dan tidak setia. Itu penyatuan yang buruk."
Sulit untuk mengabaikan fakta bahwa pria ini berasal dari keluarga anjing-anjing buangan, merengek meminta sisa-sisa makanan di meja para bangsawan tinggi. Mengingat sikap Bastian, orang akan berpikir ia berasal dari garis keturunan bangsawan, keturunan langsung dari Kaisar sendiri.
Meskipun benar bahwa posisi Bastian telah meningkat pesat sejak kesepakatan awal mereka, reputasinya didapat murni dari karier militer, yang didukung oleh Kaisar. Pernikahannya dengan Odette yang memberinya kedudukan. Artinya Laviere tidak lagi memiliki kedudukan di atas Bastian.
"Apa kau benar-benar akan berpura-pura telah melupakan semua bantuan yang ayahku berikan untukmu?" Sandrine menggunakan pengabdian ayahnya seperti senjata.
"Lady Laviere, ayahmu sudah mendapatkan keuntungan besar tiga kali lipat dari nilainya berkat diriku. Kurasa bantuannya sudah terbayar," kata Bastian dengan senyum sarkastis, sekali lagi menginjak-injak perasaan Sandrine.
"Meskipun begitu, tidak berarti semua utang emosional sudah lunas."
"Wow, kau sudah berubah sejak terakhir kita bertemu."
"Aku masih mencintaimu, Bastian, tidak berubah."
Meskipun permohonan terakhir Sandrine putus asa, Bastian tidak menunjukkan tanda-tanda tergerak oleh permohonannya. Yang bisa Sandrine baca di wajahnya hanyalah kelelahan yang mendalam, dan mabuk.
"Jika kau begitu tertarik untuk bermain-main dengan emosi, mungkin kau harus mencari orang lain untuk dinikahi, apa sudah cukup jelas? Atau apa aku salah dalam mengingat percakapan kita?" kata Bastian.
Sandrine menjadi sangat sadar bahwa ia tidak mengenakan sehelai benang pun.
"Aku ingin menikahimu karena aku sangat menghargai kecerdasan dan kemampuan beradaptasimu. Aku pikir kau adalah pemain yang terampil dalam permainan ini, tapi sepertinya aku mungkin salah."
"Bastian, aku..."
"Ini pertimbangan terakhir yang bisa kutunjukkan padamu, Lady Laviere, dengan tidak menendangmu keluar dari mansion ini, telanjang seperti saat ini." Suara Bastian menjadi rendah, hampir tidak terdengar. "Aku akan kembali dalam satu jam dan aku berharap menemukan kamarku sudah kosong. Aku sangat meragukan kita akan bertemu seperti ini lagi."
"Bagaimana kau bisa melakukan ini padaku?"
"Cukup mudah. Mungkin lain kali, tunjukkan rasa hormat dan martabat yang diharapkan dari seorang wanita bangsawan, maka aku akan sulit untuk menolakmu, Lady Laviere." Bastian meninggalkan ruangan dan Sandrine ambruk ke tempat tidur.
Ia tidak pernah benar-benar berharap untuk mendapatkan cinta Bastian. Jadi, ketika ia menerimanya di awal, ia merindukan untuk didambakan oleh Bastian. Penolakannya memperdalam kejutan dan luka yang telah ditimbulkan.
Ia merasa seolah-olah telah merendahkan dirinya menjadi sepotong daging belaka. Itu memalukan, menyedihkan, di bawah martabatnya. Ia membenci dirinya karena jatuh cinta pada pria yang begitu keji. Cintanya yang tak kenal lelah terasa lebih seperti hukuman.
Sandrine mengumpulkan gaun tidurnya, air mata mengalir di wajahnya. Bastian bahkan tidak melihat ke belakang saat pergi. Setelah ditolak hingga saat terakhir, yang bisa ia lakukan hanyalah melihat Bastian pergi.
"Hubungan mereka sangat aneh," kata seorang pelayan yang masuk ke ruang istirahat.
"Lihat, sudah kubilang kan," kata pelayan yang pertama kali menyuarakan kecurigaan.
"Maksudku, tadi malam mereka berada di kamar yang terpisah dan sarapan terpisah," lanjut pelayan itu saat ia membawa piring kotor sarapan.
"Mungkin karena mempertimbangkan kesehatan nyonya yang sakit."
"Tidak, itu aneh. Sudah hampir sebulan sejak tuan kembali ke rumah. Pasangan muda yang bersatu kembali setelah dua tahun yang panjang tidak seharusnya hidup begitu jauh dari satu sama lain. Terlebih lagi, sang duke (ayah odette) tidak begitu penyayang sebagai ayah."
"Benar, dilihat dari seberapa cepat Nyonya membuang gaun berkabungnya, tidak terasa nyonya sedang berduka begitu dalam karena ayahnya, dan dia bahkan tidak sakit lagi."
"Dia akan keluar hari ini. Menikmati kehidupan sosial dengan cukup bahagia, tetapi ketika dia berada di sekitar tuan, dia bertingkah seperti orang sakit." Koki itu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kelalaian yang ditunjukkan nyonya rumah kepada suaminya tepat saat bel layanan berdering.
"Aku akan pergi, kau baru saja kembali membawa sarapan."
"Sukarela? Ya ampun, kau sudah dewasa, Mollie."
"Ha, aku masih cukup muda," tawa Mollie, menuju pintu.
Mollie bergegas dari ruang santai, langsung menuju kamar tidur Odette. Ia mengetuk, menunggu izin untuk masuk, sebelum membuka pintu. Ia menemukan Odette duduk di dekat jendela, berjemur di bawah sinar matahari pagi.
"Selamat pagi, nyonya," kata Mollie dengan ceria. Odette menoleh ke pelayan itu dan tersenyum. "Kudengar Anda akan menghadiri pesta teh Wanita Kerajaan. Haruskah saya siapkan gaun yang sesuai untuk Anda?"
"Ya, tolong," kata Odette, kembali menatap ke jendela.
Mollie mengeluarkan gaun biru muda, yang disetujui Odette dan kemudian membantu Odette mengenakan gaun itu.
"Jika Anda butuh bantuan saya, jangan ragu untuk mengatakannya."
Mollie adalah orang pertama yang kehabisan kesabaran saat mencoba mengencangkan korset. Tangannya berhenti dengan tali di tangannya, wajah Odette yang pucat dan cantik tetap tanpa emosi.
"Aku khawatir tuan mungkin sudah tahu tentang pengkhianatanmu. Dia orang yang menakutkan, dia tidak akan pernah melepaskanmu dengan mudah," kata Mollie, mengikat korset. Odette tidak menjawab. "Tolong, Anda bisa percaya padaku, nyonya." Mollie mencoba membuat dirinya terdengar sesungguh mungkin.
Bahkan setelah mengetahui bahwa Mollie adalah mata-mata Theodora, Odette tidak mengambil tindakan. Jelas bahwa Odette memiliki beberapa rencana untuk masa depan. Membiarkan pelayan yang mencurigakan tinggal di sisinya. Mollie tidak sabar untuk tahu apa rencananya. Mereka memiliki hubungan simbiosis, tetapi Mollie tidak rugi apa pun.
"Mungkin Anda bisa mencari bantuan dari keluarga, Anda tidak pernah tahu, mungkin ada cara di mana keluarga bisa saling mendukung." Mollie menekankan maksudnya saat selesai mengikat tali. Odette berbalik, wajahnya yang tadinya tenang menjadi goyah.
Mollie tersenyum pada rekan konspiratornya.
"Selamat datang, Mayor Klauswitz," Laksamana Demel menyambut dengan hangat.
Dengan hormat, Bastian dengan tenang berjalan melintasi kantor. Laksamana Demel sedang bersantai di sofa dekat jendela, menunggunya.
"Saya dengar ada masalah mendesak," kata Bastian, berdiri di depan Laksamana.
"Ya, memang. Silakan, duduklah."
Pertemuan itu terasa mencurigakan, tetapi Bastian tetap mengikuti perintah perwira senior itu. Saat ia duduk di sofa yang empuk dan memandangi nuansa musim gugur di ruangan.
"Aku menerima pesan dari Yang Mulia, ia ingin kau datang dan makan malam di istana."
"Malam ini, di istana?"
"Ya, benar. Aku tahu ini cukup mendadak, tapi aku curiga ia punya sesuatu yang istimewa yang direncanakan. Kau harus hadir dan membatalkan semua rencana lain yang mungkin kau miliki."
"Ya, tentu saja," kata Bastian, menerima perintah itu dengan berani.
Bastian berharap Kaisar memanggil untuk menyelesaikan kesepakatan. Kaisar tidak punya alasan lain untuk memanggilnya seperti ini. Dipanggil secara tak terduga, mungkin kesepakatan mereka telah mencapai kesimpulan yang memuaskan. Bastian mengantisipasi hadiah yang besar.
"Aku hanya bisa mengucapkan selamat kepadamu karena telah menyimpan rahasia besar. Kaisar telah memberimu segudang medali dan penghargaan, aku hanya bisa memimpikan hadiah besar apa yang telah ia rencanakan untukmu. Mungkin promosi lain. Dengan laju seperti ini, kau akan segera menjadi atasanku ." Laksamana Demel menepuk bahu Bastian dengan tangannya yang gemuk.
Mungkin akan lebih menguntungkan untuk menyatakan niatnya untuk bercerai sebelum memasuki negosiasi dengan kaisar. Ia punya rencana untuk menyalahkan semua pada wanita itu dan semakin kotor alasan perceraiannya, semakin baik. Mempertimbangkan rasa bersalah Kaisar dalam semua ini, itu akan mengarah pada hadiah yang luar biasa.
"Nah, itu saja. Mengingat jumlah persiapan yang dibutuhkan, aku sarankan kau segera berangkat sekarang dan bersiap-siap."
Bastian meninggalkan kantor dengan ekspresi yang tidak berbeda dengan saat Laksamana memberinya tugas penjagaan, atau mengirimnya ke sisi lain dunia dalam misi dua tahun lainnya.
Ia melihat jam tangannya, yang menunjukkan hampir tengah hari. Ini akan menjadi hari yang sangat panjang.
Komentar